Senin, 20 Februari 2012

Hijabers Community: Upaya pembentukan feminine space oleh muslimah urban Indonesia



Abstract
This paper focuses on the phenomenon of urban society that tends not to give place to women, especially Muslim women veiled. Such conditions lead to the efforts of a group of Muslim women to create their own space, known as the concept of feminine space. Advances in information technology and communications make this movement gained momentum through the presence of virtual media, which then led to communities of women hijab (Hijabers Community). HC community through the women want to change the view that the hijab that is synonymous with traditionality into something modern, fashionable and dynamic. The author understands this phenomenon as they attempt to get space in the urban society.
The author interviewed the women who became motor Hijabers Community groups, to find out how they describe themselves, how they perceive the surrounding environment, and how they view the relationship between them and other groups in urban society.


Keywords: feminine space, urban communities, Hijabers Community

Latar Belakang
Pada tulisan ini penulis memberi titik perhatian pada fenomena munculnya komunitas perempuan perkotaan berjilbab modis, yang mereka sebut “Hijabers Community”. Penulis memahami fenomena ini sebagai sebuah upaya untuk menciptakan ruang bagi para muslimah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat urban.

Hijabers Community adalah sebuah komunitas yang pembentukannya diprakarsai oleh dua orang perempuan muda Jakarta, Dian Pelangi dan Ria Miranda. Dian adalah seorang desainer busana muslimah yang pada saat itu berusia 20 tahun.  Sementara Ria Miranda adalah kawan karib Dian yang juga memiliki profesi dibidang yang sama. Berdua mereka membentuk komunitas dengan anggota awal adalah 30 perempuan muda yang semuanya mengenakan jilbab. Komunitas ini didirikan dengan semangat awal untuk melakukan gerakan dakhwah melalui fashion dan wujud-wujud modernitas yang lain, misalkan melalui pengajian di mall, Jilbab Class, dan lain-lain. Seperti yang disampaikan oleh Dian dalam wawancaranya dengan Kompas Female “Komunitas Hijabers ini focus melakukan syiar dengan cara yang lebih modern, bergaya khas anak muda, namun tetap patuh pada kaidah.” (Hijabers Community, Bersyiar melalui Jilbab Taat Kaidah dalam female.kompas.com 11 Agustus 2011). 
Makalah ini berfokus pada fenomena masyarakat urban yang cenderung tidak memberikan tempat pada perempuan, terutama perempuan muslim berjilbab.  Kondisi yang demikian menimbulkan upaya-upaya dari kelompok perempuan muslim untuk menciptakan ruang mereka sendiri, yang dikenal dengan konsep feminine space. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat gerakan  ini mendapatkan momentum melalui kehadiran media virtual, yang kemudian memunculkan komunitas perempuan berhijab (Hijabers Community). Melalui komunitas HC perempuan-perempuan tersebut  ingin mengubah pandangan bahwa hijab yang selama ini identik dengan tradisionalitas menjadi sesuatu yang modern, fashionable, dan dinamis. Penulis memahami fenomena ini sebagai upaya mereka untuk mendapatkan ruang dalam masyarakat urban.  
Penulis melakukan wawancara terhadap perempuan-perempuan yang menjadi motor kelompok Hijabers Community, untuk mengetahui bagaimana mereka mendeskripsikan diri mereka, bagaimana mereka mempersepsi lingkungan sekitar, dan bagaimana mereka memandang relasi antara mereka dan kelompok lain dalam masyarakat urban.

Struktur Masyarakat Urban yang Patriarkal
Louis Wirth mendefinisikan perkotaan sebagai sebuah kombinasi antara tiga hal: ukuran, density (kepadatan penduduk), dan heterogenitas populasi. Kota adalah sebuah area dengan populasi yang sangat besar, hubungan yang lebih formal antar angota-anggota masyarakatnya, dengan relasi sosial yang bersifat sekunder dan tersier menggantikan relasi primer dalam masyarakat tradisional, dan satu dengan yang lain saling tidak mengenal.

Wirth membedakan tiga macam relasi sosial yang ada didalam masyarakat, yaitu:
1.      Relasi Primer (primary relationship)
Relasi yang terjalin mengutamakan pertemuan secara tatap muka atau pertemuan langsung antara anggota-anggota masyarakatnya. Dan, hubungan yang terjadi lebih bersifat personal
2.      Relasi Sekunder (secondary relationship)
Jika dibandingkan dengan relasi primer, maka relasi jenis ini lebih jarang dilakukan tetapi sifatnya langsung menuju pada hubungan interpersonal. Hubungan sekunder disebabkan adanya tujuan-tujuan tertentu berdasarkan fungsi ekonomi masing-masing individu.
3.      Relasi Tersier (tertiary relationship)
Pola hubungan yang paling dekat antar individu-individu dalam masayarakat (more impersonal), pada tahap hubungan ini anggota masyarakat menikmati relasi mereka dengan kawan-kawan mereka dekat, keluarga, dan komunitas-komunitas yang memiliki pertalian erat secara emotif.  Meskipun demikina, kontak yang terjadi diantara anggota-anggotanya bersifat tidak langsung. Indirect relations ini terjadi sebab teknologi informasi dan komunikasi telah mengambil bagian penting dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga, mereka lebih sering menggunakan dunia virtual dalam membangun kedekatan dengan kawan, keluarga, maupun komunitas-komunitasnya.[1]

Pola hubungan yang ketiga inilah yang menjadi ciri dari masyarakat perkotaan, dan membedakannya dengan masyarakat rural (desa). Desa yang cenderung menyukai interaksi tatap muka, menuntut sebuah konformitas dari anggota-anggotanya. Hal ini yang sulit dipenuhi oleh masyarakat kota karena heterogenitas anggota-anggotanya.

Seperti yang dikatakan Piliang (2004; p. 64) bahwa di era revolusi informasi saat ini, masyarakat memang masih berinteraksi satu dengan yang lain, tetapi kini tidak lagi dalam komunitas yang nyata, melainkan di komunitas virtual. Internet sebagai satu bentuk jaringan komunikasi menawarkan sebuah dunia baru dimana dunia tersebut memiliki komunitasnya sendiri (virtual community), bentuk realitasnya sendiri (virtual reality), dan bentu ruangnya sendiri (cyberspace).

Hal lain yang juga menjadi karakteristik masyarakat kota adalah struktur ekonomi dalam masyarakatnya. Tidak seperti desa, kota adalah pusat perekonomian bagi wilayah-wilayah disekitarnya (suburban hingga rural). Masyarakat kota yang erat keterkaitan dengan kapitalisme memicu adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang memiliki keterbatasan akses terhadap modal-modal ekonomi.

Kota dengan berbagai permasalahannya menjadi sebuah tempat yang tidak aman bagi beberapa kelompok tertentu. Sebagai pusat ekonomi, maka masalah kepadatan penduduk menjadi persoalan yang serius, lingkungan yang tidak sehat, system sanitasi yang buruk, tingkat kompetisi yang tinggi dalam memperebutkan lapangan pekerjaan, dan juga persoalan-persoalan sosial lain adalah problem-problem yang harus dihadapi oleh masayrakat kota. Kota menjadi tempat yang tidak lag[I memberikan rasa aman bagi penduduknya.

Kaum minoritas, anak-anak, dan perempuan adalah kelompok-kelompok yang rentan terhadap represi kaum dominan di kota. Masyarakat kota adalah masyarakat kapitalistik yang tidak cukup memberika ruang bagi perempuan. Produksi adalah hal yang bersifat maskulin, sementara perempuan diletakkan hanya sebagai konsumen belaka dan tidak diakui

Setiap kota bukanlah tempat yang ramah bagi para buruh atau kaum pekerja, kota menjadi tempat yang tidak memberikan perlindungan terhadap anak-anak, lingkungan yang kurang sehat.

Diskriminasi terjadi ketika individu-individu memiliki asosiasi negatif dengan anggota-anggota dari kelompok yang berbeda, dan hal tersebut akan mempengaruhi perilaku mereka dalam berbagai setting yang berbeda.[2]

Diskriminasi yang terjadi di perkotaan terjadi melalui tiga cari:
1.      Taste-based Discrimination
Perlakuan diskriminatif yang secara sadar dilakukan berdasarkan subyektifitas preferensi (memilih) untuk individu-individu yang berada dikelompok tertentu

2 komentar:

  1. saya tertarik dengan makalah ini. Boleh tau kesimpulan, kalo perlu pembahasan singkatnya?

    BalasHapus
  2. saya tertarik sekali...boleh izin akses full makalah nya?
    untuk resource thesis saya...trims...mohon infonya

    BalasHapus