Rabu, 11 April 2012

Praktik Jurnalisme Lingkungan oleh Harian Jawa Pos



Abstraksi

Keywords: Environmental Journalism, Mud Vulcano, textual analysis

Concept of environmental journalism was developed from environmental communication which reviews on how individual, institution, society and culture accept, understand, form, divert and utilize messages concerning environment as much as inter relationships between human and environment. The major demand on environmental journalism is how mass media as a source of public information takes responsibility to voice environmental issues that enables public to clearly understand and become aware of any dangers on their surroundings.
In this study, researcher wants to explore how environmental news coverage is performed by Indonesia mass media, especially Jawa Pos. The said environmental news is about mud volcano at Brantas Block in East Java.
This study takes focus on news publicized by Jawa Pos as one of the biggest mass media that is geographically close to disaster area. Hence, researcher uses textual analysis method. Researcher tries to capture understandings on how Jaw Pos journalists understand and news pack this mud volcano.  
When an environmental incident occurs, no matter it is caused by nature or human error, this will lead but not limited to environmental aspects. Other aspects like socio economy, law and politics can be affected. Media is highly expected to have carefulness in focusing to root causes of disaster, environmental mitigation actions, and recovery plan dealing with the disaster.
Last but not least, media should be able to take distance with interest groups that may make use of the environmental disaster. Environmental crime could be executed by individual, corporation or power group. Failure of mass media to perform environmental journalist can lead to another tragedy to environment.

Konsep jurnalisme lingkungan (environmental journalism) dikembangkan dari komunikasi lingkungan, yang mengkaji bagaimana individu, lembaga, masyarakat, serta budaya menerima, memahami, membentuk, menyampaikan, dan menggunakan pesan tentang lingkungan, serta hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungan. Tuntutan utama dari jurnalisme lingkungan adalah bagaimana media massa sebagai sumber informasi utama publik memiliki kewajiban untuk  menyuarakan isu-isu lingkungan sehingga publik dapat secara jelas memahami dan menyadari bahaya yang ada di lingkungan mereka.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengeksplorasi bagaimana praktik liputan berita lingkungan, yang menjadi ranah jurnalisme lingkungan dilakukan oleh media massa Indonesia, khususnya Jawa Pos. Berita lingkungan yang dimaksud adalah mengenai bencana lingkungan semburan lumpur (mud volcano) di penambangan Blok Brantas Jawa Timur. Pemilihan surat kabar Jawa Pos dikarenakan media ini adalah media massa nasional terbesar dan memiliki kedekatan geografis dengan lokasi bencana. Menggunakan metode textual analysis, peneliti mencoba mendapatkan pemahaman bagaimana jurnalis Jawa Pos memahami dan mengemas berita semburan lumpur panas tersebut.
Ketika terjadi persoalan lingkungan, baik yang berupa bencana alam maupun kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, memang tidak hanya menyangkut lingkungan belaka, namun aspek lain seperti ekonomi, sosial, hukum, dan politik juga terimbas. Media dituntut untuk memiliki kejelian dalam memfokuskan diri pada akar utama penyebab bencana, tindakan mitigasi lingkungan, dan rehabilitasi yang dapat diupayakan dalam kasus tersebut.
Media harus mampu memisahkan diri dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang seringkali ikut bermain dalam kasus lingkungan, Kejahatan terhadap lingkungan dapat dilakukan oleh individu maupun korporasi, bahkan kelompok penguasa. Apabila media massa gagal dalam menjalankan jurnalisme lingkungan, maka hal tersebut menjadi bencana bagi lingkungan itu sendiri.




Pendahuluan
Jurnalisme lingkungan berkembang pada tahun 1980-an, ketika insiden lingkungan banyak terjadi di negara-negara barat. Pada saat itu bencana lingkungan dalam skala besar terjadi di berbagai belahan dunia, limbah merkuri di perairan Ontario, hujan asam, rusaknya habitat burung akibat penggunaan pestisida, hingga insiden nuklir di kota Chernobyl, Ukraina yang menyebabkan lebih dari lima juta orang terpapar radiasi zat radioaktif penyebab kanker. Sejak itu, kesadaran akan pentingnya menyajikan liputan yang dapat menggugah kesadaran terhadap bahaya lingkungan mulai muncul di kalangan media massa
 Dalam membuat liputan peristiwa-peristiwa di atas, media dibanjiri informasi dari seluruh aspek yang berkait dengan persoalan tersebut, mulai dari aspek sosial, hukum, ekonomi, maupun politik. Akan tetapi, aspek lingkungan yang menjadi akar persoalan justru tidak banyak disentuh karena ketidakmampuan jurnalis memahami persoalan lingkungan secara komprehensif.
Keadaan ini mengundang keprihatinan dari para praktisi media, sehingga pada tahun 1990-an berdiri The Society of Environmental Journalists (SEJ) yang dipelopori The Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting, Minnesota Public Radio, dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah untuk menguatkan kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme dalam memberikan informasi kepada publik untuk memahami isu lingkungan (Rademakers, Tesis, 2004: 4).
Terbentuknya SEJ diikuti oleh pendirian organisasi-organisasi profesional yang juga concern terhadap persoalan lingkungan, juga lembaga-lembaga kajian maupun institusi akademis. Misalkan The Environmental Journalism Center of The Radio – TV News Director Association and Foundation (1991), Center for Environmental Journalism – University of Colorado (1992), International Federation of Environmental Journalists (1993), Knight Center for Environmental Journalism – Michigan State University (1994), Earth Journalism Network (2004).
Di Indonesia sendiri, kerusakan lingkungan acapkali muncul dan menimbulkan ribuan korban jiwa. Mulai dari pengerukan pasir, perburuan satwa liar, kebakaran hutan, hingga penambangan. Namun, masalah-masalah tersebut menahun karena kurangnya perhatian masyarakat pada isu-isu lingkungan.
Salah satu masalah yang muncul adalah semburan lumpur panas Sidoarjo pada 2006 yang menenggelamkan tiga kecamatan di Sidoarjo. Hingga sekarang, bencana ini telah membuat ribuan warga dievakuasi. Puluhan ribu unit rumah dan berbagai infrastruktur terendam lumpur. Belum lagi ancaman kesehatan dari berbagai materi yang terkandung di lumpur, diantaranya gas Hidrogen Sulfida, fenol, Kadmium (Cd), Timbal (Pb), dan besi (Fe) yang melebihi ambang baku mutu.
Disinilah peran jurnalis untuk memahami kompleksnya permasalahan, kemudian memberi pemahaman kepada khalayak tentang apa yang terjadi dengan lingkungan mereka, bahaya apa yang sedang mengintai, dan bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Dengan kata lain, etika jurnalisme lingkungan menjadi sebuah tuntutan yang tak terelakkan.
           
Rumusan Masalah
Tulisan ini berfokus pada analisis pemberitaan bencana lumpur panas Sidoarjo ditinjau dari perspektif jurnalisme lingkungan (environmental journalism). Peneliti bermaksud melihat bagaimana harian Jawa Pos sebagai salah satu media massa terbesar di Indonesia memberitakan insiden-insiden lingkungan, dengan menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme lingkungan yang informatif, edukatif, dan preventif.
Informatif berarti berita memuat informasi yang lengkap tentang sebuah isu lingkungan (5w1h). Edukatif berarti berita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sebuah kasus lingkungan. Solutif berarti media dalam berita-berita yang mereka produksi mampu membuat sebuah prediksi-prediksi dari gejala alam yang ada, sehingga dapat mengajak masyarakat untuk melakukan tindakan preventif dari bencana yang mengancam (Patel, Samir S. 2006. Island of Understanding: Environmental Journalism in the South Pacific. Pacific Journalism Review dalam laman www.pjreview.in
Menurut Samir dalam tulisannya, “Island of Understanding: Environmental Journalism in The South Pacific” (2006) yang dimuat di laman www.pjreview.info, informatif berarti berita memuat informasi yang lengkap tentang sebuah isu lingkungan (5w1h), edukatif berarti berita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sebuah kasus lingkungan, dan solutif berarti media dalam berita-berita yang mereka produksi mampu membuat sebuah prediksi-prediksi dari gejala alam yang ada, sehingga dapat mengajak masyarakat untuk melakukan tindakan preventif dari bencana yang mengancam.
Jawa Pos dipilih sebab selain sebagai koran dengan jumlah pembaca terbesar di Indonesia (Survey Nielsen Media Research, 2009), juga memiliki kedekatan geografis dan psikografis dengan lokasi bencana semburan lumpur.

Metode
Metode yang digunakan untuk mengkaji persoalan di atas  adalah analisis tekstual, sebab penelitian ini tak hendak mencari apakah berita-berita lumpur Sidoarjo benar atau tidak (quantitative content analysis) , atau hanya sekedar melihat bingkai yang digunakan oleh media massa dalam mengemas berita lumpur Sidoarjo (framing analysis). Akan tetapi, penulis ingin melakukan pengamatan yang lebih mendalam dari sebuah teks dan mendapatkan intepretasi komprehensif mengenai bagaimana media memahami dan mengolah informasi berkait dengan lingkungan dan menyampaikan kepada khalayaknya.


Jurnalisme Lingkungan Sebagai Sebuah Praktik
Akar dari jurnalisme lingkungan adalah komunikasi lingkungan, yang mengkaji bagaimana individu, lembaga, masyarakat serta budaya menerima, memahami, membentuk, menyampaikan dan menggunakan pesan tentang lingkungan itu sendiri, serta hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan (Cox, 2010: 6).
Jurnalisme lingkungan (environmental journalism) adalah konsep yang berkembang pada akhir 1980-an, ketika peristiwa kerusakan lingkungan mulai muncul dengan berbagai skala kerusakan. Istilah ini merujuk pada pemberitaan jurnalis yang berkait dengan isu-isu lingkungan. Beberapa sebutan lain yang sejenis adalah green press, eco-journalism, liputan lingkungan (environmental reporting), atau science reporting.
Menurut Frome, jurnalisme lingkungan adalah menulis dengan sebuah tujuan, yaitu untuk menyuarakan isu lingkungan kepada publik dengan menyajikan data-data akurat, sehingga dapat memberikan peran pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik berkait dengan isu lingkungan (Rademakers, 2004: 15).
            Pada 26 April 1986 terjadi insiden Chernobyl, yaitu ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir di kota Chernobyl, Ukraina. Peristiwa ini menyebabkan 600.000 orang terkena radiasi tingkat tinggi, dan lima juta orang terpapar low radiation. Akibat radiasi ini adala thyroid cancer (Chernobyl Legacy: Health, Environmental & Socio-Economic Impacts and Recommendations to The Government of Belarus, The Russian Federation and Ukraine, The Chernobyl Forum, 2005: 103).
            Peristiwa tersebut merupakan bencana lingkungan terburuk yang diakibatkan oleh faktor manusia. Pada saat itu media massa dibanjiri oleh informasi dari seluruh aspek yang berkaitan dengan peristiwa tersebut (politik, ekonomi, hukum), namun aspek lingkungan sendiri tidak banyak disentuh oleh jurnalis karena mereka tidak mampu memahami persoalan lingkungan secara scientific.
            Pada tahun 1990, berdiri The Society of Environmental Journalists (SEJ) yang dipelopori oleh The Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting, Minnesota Publik Radio, dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah untuk menguatkan kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme pada seluruh media massa dalam memberikan advokasi kepada publik untuk memahami isu-isu lingkungan (Rademakers, 2004: 4).[1]
            Selain SEJ, masih banyak lagi organisasi yang didirikan, juga lembaga-lembaga kajian maupun institusi akademis. Misalkan The Environmental Journalism Center of The Radio – TV News Director Association and Foundation (1991), Center for Environmental Journalism – University of Colorado (1992), International Federation of Environmental Journalists (1993), Knight Center for Environmental Journalism – Michigan State University (1994), Earth Journalism Network (2004)
            Di Indonesia, beberapa organisasi professional untuk jurnalis lingkungan juga telah didirikan, diantaranya adalah Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau Society of Environmental Journalism (SIEJ), Kelompok Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL), dan Sahabat Alam.
Dalam praktiknya, jurnalis lingkungan dituntut mampu menguasai persoalan lingkungan secara komprehensif, sehingga dapat memberikan informasi yang jelas, solusi-solusi, memberikan prediksi berkait dengan potensi resiko baik yang berskala kecil maupun besar, berkait dengan sebuah isu lingkungan.
Jurnalis tidak lagi hanya bersandar kepada informasi dari kelompok-kelompok tertentu seperti pemerintah, pelaku industri, bahkan para aktivis lingkungan, dalam memahami sebuah isu lingkungan (Keating, 1993).
Dalam kode etik yang ditulis American Society of News Editors (ASNE) disebutkan bahwa “tujuan utama dari membagi dan mendistribusikan berita adalah untuk menjaga kesejahteraan bersama dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat dan menjadikan mereka mampu membuat penilaian-penilaian mereka sendiri terhadap isu-isu yang berkembang”.
Ketika media mengambil bagian dalam mengawal isu dan memberikan literasi kepada masyarakat terhadap hal tersebut, maka tak cukup hanya dengan memberikan informasi belaka, akan tetapi penyusunan alur cerita dan sudut pandang yang digunakan juga menjadi unsur penting dalam pemberitaan.
Dalam persoalan lingkungan, media juga dipandang sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan enlightment bagi masyarakat mengenai bahaya yang sedang mengancam lingkungan mereka. Patel (2006), mengatakan bahwa jika seorang ilmuwan dapat mengidentifikasi potensi masalah lingkungan jauh sebelum seorang pun dapat mengatakan efek riilnya, maka jurnalis harus berusaha untuk memahami isu tersebut, dan menemukan titik keseimbangan antara resiko yang tampak maupun yang laten.
Ketika Center of Journalism dibentuk di University of Colorado pada tahun 1992, para akademisi dan praktisi media memiliki kesadaran akan perlunya sebuah standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Enam tahun kemudian, dilakukan ratifikasi code of ethics dalam event 6th World Congress of Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo, Sri Lanka. Adapun poin-poin yang diratifikasi:
1. Jurnalis lingkungan harus menginformasikan kepada publik tentang hal-hal yang menjadi ancaman bagi lingkungan mereka, baik yang berskala global, regional, maupun lokal.
2. Tugas para jurnalis adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan isu-isu lingkungan. Jurnalis harus berusaha untuk melaporkan dari berbagai sudut padang berkait dengan lingkungan
3. Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan orang akan hal-hal yang mengancam lingkungan mereka, tetapi juga menempatkan hal tersebut sebagai pembangunan. Jurnalis harus berusaha untuk menuliskan solusi-solusi untuk persoalan lingkungan
4. Jurnalis harus mampu memelihara jarak dan tidak memasukkan kepentingan mereka. Sebagai aturan, jurnalis harus melaporkan sebuah isu dari berbagai sudut pandang, terutama isu lingkungan yang mengandung kontroversi 
5. Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari informasi yang sifatnya spekulatif/ dugaan dan komentar-komentar tendensius. Ia harus men-cek otentisitas narasumber, baik dari kalangan industri, aparat pemerintah, atau dari aktivis lingkungan
6. Jurnalis lingkungan harus mengembangkan keadilan akses informasi dan membantu pihak-pihak, baik institusi maupun perorangan untuk mendapatkan informasi tersebut.
7. Jurnalis harus menghargai hak dari individu yang terkena dampak kerusakan lingkungan, bencana alam, dan sejenisnya
8. Jurnalis lingkungan tidak boleh menyembunyikan informasi yang ia yakini sebagai sebuah kebenaran, atau membangun opini publik dengan hanya menganalisis satu sisi saja
Di Indonesia sendiri, peran masyarakat telah diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 pasal 70 (1), “Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”.
Media massa dalam konteks ini dianggapsebagai bagian dari masyarakat, jelas memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi yang memungkinkan masyarakat untuk berperan dalam menjaga lingkungan hidupnya, selain tanggung jawab media itu sendiri untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap berbagai kegiatan yang membahayakan bagi lingkungan hidup.
  
A.    Berita Lingkungan Jawa Pos
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan, diketahui bahwa pada tahun 2010 pemberitaan yang berkait dengan lumpur Sidoarjo di Jawa Pos muncul sebanyak 256 item berita. Akan tetapi, tidak semua berita yang dimuat adalah berita lingkungan. Secara garis besar, ada dua jenis berita, yaitu berita dengan beat lingkungan dan non lingkungan.
Beat menurut Potter dalam Buku Pegangan Jurnalis Independen (2006) adalah bidang-bidang khusus dalam pemberitaan, baik kekhususan dalam hal geografi maupun  topik. Jurnalis dengan beat-beat tertentu harus menguasai benar wilayah mereka dan orang-orang yang berkecimpung didalamnya, sehingga mereka tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, akan tetapi juga menjadi penerjemah dan penafsir bagi pembacanya
Untuk beat lingkungan, isu yang muncul adalah persoalan mitigasi bencana,  rehabilitasi lingkungan, pencemaran lingkungan, dan aspek hukum dari kejahatan lingkungan.

A.1. Pengaburan fakta dalam Berita Mitigasi Bencana
Pemberitaan Jawa Pos, sebagian besar didominasi oleh tema mitigasi yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)[K1] , sebuah lembaga yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Peraturan Presiden  No. 14 Tahun 2007. Tugas lembaga ini adalah mengadakan berbagai upaya penanggulan lumpur, penanggulangan semburan lumpur, dan penanganan masalah sosial dan infrastruktur pasca semburan lumpur.
Dari analisis teks yang dilakukan peneliti, tampak bahwa Jawa Pos dalam pemberitaannya mengambil angle atau sudut pandang kerja keras BPLS dalam menangani permasalahan berkait lumpur panas Sidoarjo, misalkan dari pemilihan kata-kata yang digunakan dalam judul berita: Antisipasi Tanggul Jebol Lagi: BPLS Optimalkan Pompa dan Saluran Air (15/01), Kolam Penuh, BPLS Alirkan ke Lahan Warga (18/ 01), BPLS Bangun Tanggul untuk Tampung Air Lumpur (19/01), Antisipasi Banjir: Manfaatkan Drainase (22/01), BPLS Siapkan Kapal Keruk (25/01), Kapal Keruk Sudah Tiba (01/02), Musim Hujan Tanggul Aman (25/02), Normalkan drainase (02/08), BPLS Siapkan Tanggul Baru: Pasca Melubernya Lumpur (09/08).
Dari judul-judul diatas, konotasi yang didapatkan oleh penulis adalah kesigapan BPLS dalam menangani permasalahan yang muncul di lapangan. Dari invetarisir yang dilakukan oleh penulis, terdapat tiga persoalan yang menonjol berkait dengan mitigasi, yaitu: persoalan penanggulan, drainase, pengawasan terhadap bubbles baru.
Pada  berita-berita penanggulan –problem  yang selalu menjadi tema utama  ketika musim hujan tiba, karena tanggul sering jebol akibat air hujan menambah debit air di dalam tanggul- Jawa Pos cenderung melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang keberhasilan BPLS menangani permasalahan tanggul. Sebagai representasi pemerintah, . BPLS dianggap telah mengambil langkah tepat dan efektif dalam mengantisipasi tanggul jebol.  .[K2]  Misalkan, berita “Antisipasi Tanggul Jebol Lagi: BPLS Optimalkan Pompa dan Saluran Air” (15/01).

Tabel 4.1. Elemen Berita tentang Kesigapan BPLS
Menghadapi Musim Hujan
Judul
Antisipasi Tanggul Jebol LAgi: BPLS Optimalkan Pompa dan Saluran Air (15/01)
Lead
Musim hujan selalu menjadi momok  bagi BPLS. Sebab, saat itulah kolam lumpur sering dipenuhi air hujan. Yang dikhawatirkan, tekanan air lebih kencang daripada lumpur, sehingga bisa mengancam tanggul
Exemplaar
Sedikitnya 200 dump truck berisi pasir dan batu (sirtu) dipasok setiap hari. Material itu digunakan unut memperkuat sisi luar tanggul agar lebih kokoh.

Agar tidak mudah terkikis, BPLS juga menanami rumput di dinding luar tanggul.

Penguatan tanggul itu terus dilakukan meski kondisi jalan licin

Di bagian dalam, BPLS mencegah genangan air yang berlebihan. Sebab, hal itu bisa mengancam kekuatan tanggul. Untuk itu, saluran air dipasang di delapan titik. Tujuannya, air di dalam kolam bisa lancer mengalir keluar

Upaya itu masih ditambah pengoperasian lima pompa di sekitar tanggul
Kata, frasa, dan klausa yang menonjol
Tekanan air lebih kencang; terkikis air hujan; tekanan air dalam kolam sangat kuat; tanggul jebol dan tidak kuat menahan tekanan air tersebut; kondisi jalan licin; tergerus air hujan
Kutipan Narasumber
“itu yang kami maksimalkan” HUmas BPLS Achmad Zulkarnain

“Secara keseluruhan tanggul aman. Perbaikan dan perawatan terus dilakukan. Alat berat juga dioptimalkan” Humas BPLS, Achmad Zulkarnain

“Tanggul yang tergerus air hujan langsung diperbaiki, sehingga tetap kokoh” humas BPLS, Achmad Zulkarnain

Visual Image
Tiga orang pekerja dan dua alat berat (ekskavator) yang bekerja di tanguul lumpur” dengan latar bagian bagian kanan kiri tanggul adalah kolam lumpur, dan sebelah kanan tanggul adalah jalan Raya Porong yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan.
Caption
Penguatan: penanggulan di Kawasan Siring yang terus berlanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar