Abstract
In mid
2010 the people of Indonesia
were struck by the oversprea of porn videos that contain scenes of the artist
Luna Maya, Ariel, and Cut Tari. They are symbols of successful youth and the pride for their ethnic group. So that,
they were attached cultural identity. This study focuses on how the local media
construct their indetity after the porn videos deployed.
Keynote: Cultural Identity,
Social Construction
...seorang Cut Tari, wanita
dan ibu keturunan Aceh terlebih dengan gelar Cut yang sudah berbad-abad dijaga
kehormatannya oleh masyarakat Aceh, harusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia. (Serambi
Indonesia, 10 Juni 2010)
Di atas adalah kutipan
pernyataan dari Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA)
Jakarta, Alfi Syahriati ketika diwawancarai oleh harian Serambi Indonesia
berkait keterlibatan Cut Tari dalam video berisi adegan seksual yang mirip
dirinya dengan vokalis grup band Peterpan, Ariel.
Alfi Syahriati sebagai orang Aceh merasa sangat risih dengan nama “Cut” yang disandang oleh Cut Tari, selebritis papan atas Indonesia. Karena, baginya nama Cut memiliki keistimewaan dan menuntut serangkaian tanggung jawab penyandangnya. Bagi Warga Aceh, Cut adalah gelar bagi para perempuan bangsawan keturunan Sultan Aceh “Uleebalang”, dan yang laki-laki bergelar “Teuku” di depan nama mereka.
Cut Tari tak sendirian
terlibat dalam kasus video porno ini, selain dirinya juga ada Nazriel Ilham,
atau yang lebih dikenal sebagai Ariel Peterpan, dan juga Luna Maya. Ketiganya
adalah selebritis Indonesia yang saat ini berada di puncak karir mereka. Dapat
anda tanyakan kepada hampir seluruh anggota masyarakat, siapakah yang tak akrab
dengan lagu-lagu milik Peterpan, dan tentu saja sang vokalis sebagai bintang;
siapakah yang belum pernah menyaksikan acara musik “Dahsyat” yang dibawakan
Luna Maya, atau berbagai iklan yang memajang wajah cantik sang artis; coba
tanyakan tentang acara gosip selebritis “Insert”, siapakah presenternya, Cut
Tari akan ada di urutan pertama jawaban. (keknya yang ini kurang sreg,
cenderung menggiring orang/pembaca pada pendapat penulis. Kenapa ga biarin
mereka mengambil kesimpulan ndiri?)
Tulisan
ini bermaksud untuk melihat bagaimana identitas individu dikonstruksi oleh
lingkungan sosialnya, dan bagaimana peran media di dalam konstruksi tersebut.
Ketiga selebritis diatas meskipun telah menjadi artis nasional dan menetap di
Ibukota, namun tak dapat dipungkiri bahwa pada masing-masing masih melekat
identitas budaya lokal yang berbeda, seperti gelar “Cut” yang disandang Cut
Tari, Ariel yang identik dengan Bandung, dan Luna Maya yang besar dalam kultur
Bali dan sangat bangga dengan identitas ke-Bali-an yang ia miliki. Ketiganya menjadi
sosok yang dianggap mampu membawa nama daerah masing-masing ke kancah nasional.
Media lokal pun sebelum kasus ini mencuat, mengelu-elukan mereka sebagai sosok
putra daerah yang berhasil. Kini, pasca kasus video porno yang melibatkan
mereka bertiga, bagaimana media mengkonstruksi hal tersebut? Jawaban atas
pertanyaan inilah yang mendasari penulis untuk melakukan pengamatan.
Ada
tiga media massa lokal yang menjadi obyek (yang baku objek ya non) pengamatan
penulis, yaitu Pikiran Rakyat (Bandung), Serambi Indonesia (Aceh), dan Bali
Post (Bali). Pemilihan tiga media dengan asumsi bahwa masing-masing menjadi mainstream
media di daerahnya. Unit yang diamati adalah kata-kata yang ada di dalam
setiap berita yang berkaitan dengan kasus video porno ketiga selebritis. Untuk
pengumpulan data, penulis mengambil versi online agar tiada satupun
berita yang terlewati sejak kasus ini muncul yaitu 3 juni 2010 hingga 30 Juni
2010.
Kisah Video Porno Artis
Video dimaksud mulai diunggah
di internet pada 3 juni 2010. Pertama beredar adalah video Ariel dan Luna Maya[1].
Rekaman berdurasi sekitar tiga menit tersebut berisi adegan seksual antara
Ariel dan Luna Maya. Rekaman diambil melalui kamera handphone.
Sementara, berselang tiga hari kemudian, muncul video kedua yang menampilkan
Ariel dan Cut Tari sedang berhubungan seksual. Secara cepat video tersebut
menyebar. Kecanggihan teknologi internet menjadi katalisator terdistribusinya
video kepada khalayak luas. Selama dua pekan, layanan internet mengalami
lonjakan traffic yang signifikan, ditambah dengan layanan semakin
membludaknya pengguna layanan telepon pintar seperti blackberry yang
memungkinkan seseorang mengunduh video dimanapun dan kapanpun ia inginkan.[2]
Berita
seputar skandal video ini pun juga
menjadi perbincangan internasional, Harian Amerika Serikat, The New York Times
dan juga CNN turut membicarakan dan mewawancarai Ariel. Di situs majalah
Time.com, berita Ariel masuk di posisi keempat berita terpopuler, hanya
dikalahkan oleh tiga peristiwa: fenomena kokain di kalangan kelas menengah,
pencemaran oli oleh British Petroleum dan Cina yang akan penetrasi pasar
Afrika.
Di
Indonesia, video yang paling banyak di-download adalah video porno tiga
bintang ini, dalam waktu tiga hari setelah diunggah pertamakali, jumlah
pengunduh mencapai lebih dari tiga ratus ribu orang atau rata-rata seratus ribu
orang perharinya[3],
belum lagi apabila para pengunduh ini kemudian menyebarkan kepada
rekan-rekannya. Maka, dapat dibayangkan betapa isu video ini segera menjadi isu
publik yang diperbincangkan hampir seluruh lapisan masyarakat. Di ruang kuliah,
warung kopi, di kantor-kantor, di sekolah mulai SD-SMA, arisan PKK, hingga
pengajian ibu-ibu di kampung pun ikut meramaikan perbicangan seputar video
tersebut.
Media
massa memiliki andil besar dalam ingar bingar skandal ini, hampir seluruh media
massa yang ada di Indonesia tak luput dari pemberitaan mengenai kasus video
porno Ariel dkk, bahkan majalah Tempo, yang selama ini mem-positioning-kan
diri sebagai media “serius” dan relatif bebas dari berita khas infotainment,
ternyata ikut latah memberitakan kasus nge-pop ini.
Tentu tidak semua media memiliki
suara seragam dalam melihat persoalan yang ada, masing-masing memiliki sudut
pandang yang berbeda berdasar reference jurnalis pada fakta yang ada dan
ideologi institusi media. Sehingga, berpengaruh pada wacana yang mereka
sajikan, tercermin pada bahasa-bahasa yang mereka gunakan. Apa yang tersaji
pada produk berita mereka mengindikasikan nilai-nilai tertentu, yang disadari
ataupun tidak merupakan upaya penjejalan isme-isme tertentu kepada pembacanya .
Seperti yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa wacana tidaklah pernah netral
atau berdiri sendiri. Bahasa adalah sebuah wacana yang berkait dengan aturan,
hak-hak istimewa untuk kelompok tertentu yang diberikan oleh pemegang
kuasaLewat teori-teori yang dikemukakannya Foucault menyadarkan dunia bahwa
bahasa sebagai alat melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu, “language as
a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a
particular group while excluding other”.[4]
Berikut pengamatan penulis terhadap
ketiga media lokal yang ada (Pikiran Rakyat, Serambi Indonesia, dan Bali Post)
terhadap pemberitaan seputar video porno artis Indonesia. Untuk Pikiran Rakyat
terdapat 10 item berita, Bali Post 8 item berita, dan Serambi Indonesia
sebanyak 6 item berita. Kesemua berita tersebut diunggah dalam kurun 3-30 Juni
2010.
Bali
Post : Video Seksual, Pelanggaran Nyata terhadap Nilai Moralitas Masyarakat
Salah satu aspek penting dalam pemberitaan adalah
rubrikasi, yaitu bagaimana sebuah peristiwa (dan berita) dikategorisasikan
dalam rubrik-rubrik tertentu. Sebuah peristiwa tentu dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, apakah sebagai fenomena sosial, persoalan ekonomi,
masalah hukum atau kriminal, peristiwa nasional/ lokal, human interest,
atau hanya hiburan semata.
Rubrikasi peristiwa berhubungan
dengan bagaimana realitas dipahami dan dimengerti atau apa yang seharusnya
ditekankan oleh khalayak dalam melihat suatu peristiwa atau realitas.[5]
Dalam kasus video adegan seks selebritis
ini, ada berbagai sisi peristiwa yang melingkupinya, diantaranya: adalah sisi
hukum karena termasuk pada ranah pornografi dan pornoaksi; sisi sosial karena
dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat; sisi hiburan karena menyangkut
pelaku industri entertainment Indonesia, dan juga sisi politik karena
adanya beberapa kecurigaan bahwa isu video porno hanyalah isu semu untuk
menutupi persoalan-persoalan lain yang lebih urgent dari hadapan publik
yang berkait dengan penyelenggaraan negara (keberlanjutan kasus Century, Dana
Aspirasi Parlemen, Rekening Misterius Jenderal Polri, dan lain sebagainya).
Dari ketiga media, ternyata memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam mengklasifikasikan berita video porno ini.
Bali Post cenderung melihatnya sebagai peristiwa hukum sehingga seluruh berita
yang diturunkan selalu melihat pada ranah proses hukum yang ada. Mulai dari
pasal-pasal yang dapat dikenakan pada ketiga artis yang terlibat hingga setiap
perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Bali Post berusaha untuk mengemas
berita ini “secerdas mungkin” dengan menempatkannya pada kategori “Peristiwa
dan Hukum”. Dapat diartikan bahwa Bali Pos berusaha melihatnya sebagai insiden
pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku.
Bali Post menggunakan kepolisian dan
aparat hukum lain sebagai sumber utama berita-berita mereka. Mulai dari
Kapolri, Kabareskrim, Kadiv Humas Polri, Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan
Polri, Kabid Penerangan Umum, dan Wakadiv Humas Polri tercatat pernah
setidaknya satu kali dikutip komentarnya dalam pemberitaan. Dan, seluruh
komentar yang dimuat berisi keterangan pasal-pasal yang dapat dikenakan kepada
ketiga pelaku yang ada di rekaman video.
...bila
terbukti ketiga figur terkenal terancam terkena pasal berlapis karena secara
sadar mendokumentasikan.(Wakadiv. Humas Polri).
...Kabareskrim,
Ito Sumardi menyatakan pemeriksaan terhadap Ariel-Luna Maya menanyakan proses
pembuatan video dan kenapa gambar itu bsia beredar.
(“Ariel-Luna Gandengan Tangan Diperiksa Polisi di
Mabes Polri, BP/ 12-06 2010)
Selain kepolisian, narasumber lain yang
tercatat adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Hadi Supeno. Meski
dirinya diwawancarai sebagai ketua KPAI, yang seyogyanya bicara mengenai dampak
video terhadap anak-anak, namun justru Bali Post mengutip pendapat dalam
konteks hukum yaitu pasal-pasal yang dapat dikenakan kepada ketiga artis yang
terlibat.
...pelaku yang diduga Ariel, Luna
Maya, dan Cut Tari dapat dijerat dengan tiga undang-undang. Mereka tidak dapat
mengelak dari Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi;
Undang-undang No. 11 tahun 2008 pasal 27 ayat 1 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik; dan, Pasal 282 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Tindakan
Asusila...
(Dipanggil Polisi Ariel-Luna
Maya Sakit, Cut Tari diantar Suami, BP/ 15-06-2010)
Bali
Post mencoba mengkonstruksi peristiwa ini sebagai sebuah pelanggaran terhadap
norma hukum yang ada. Terlepas dari kontroversi antara hak individu untuk
membuat dokumentasi versus undang-undang pornografi dan pornoaksi yang tidak
memberi celah sedikitpun kepada pembuatan video dengan content seksual
baik untuk pribadi maupun disebarkan kepada masyarakat.
Bahwa apapun alasannya, ketiga artis
tersebut melakukan suatu hal yang salah. Labelling terhadap produk video
tersebut juga mencerminkan hal ini. Bali Post beberapa kali menyebutnya sebagai
“video mesum” dan “adegan film asusila”. Konteks mesum merupakan peyorasi akan
hubungan seksual antar manusia. Asusila menunjukkan bahwa Bali Post memandang
apa yang dilakukan oleh ketiga artis adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan
norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat.
Bali Post seolah menafikkan bahwa
seksualitas adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Bahwa kehidupan itu bermula
dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Seringkali media massa
turut mengkonstruksi pemikiran bahwa seks merupakan sesuatu yang tabu, aib yang
harus ditutupi. Sehingga setiap pelanggaran terhadap tabu tersebut layak
mendapatkan hukuman bagi pelakunya.
Hukuman tersebut juga diberikan oleh Bali
Post dengan cara tak memberikan ruang terhadap “para pendosa” untuk bersuara.
Tak ada satupun komentar dari ketiga pelaku yang dimuat.[6]
Memang, penasihat hukum mereka beberapa
kali dimintai keterangan dan dimuat dalam berita Bali Post, namun kutipan
berita komentar yang ditampilkan justru menyudutkan si artis itu sendiri,
alih-alih menyuarakan kepentingan mereka. Misalkan, pernyataan O.C Kaligis,
pengacara Ariel-Luna Maya, bahwa Ariel sebagai korban dalam kasus ini dan semua
harus diserahkan kepada penyelidikan pihak kepolisian. Pernyataan Ariel dan
Luna Maya sebagai korban mengindikasikan bahwa mereka bukan sedang menuntut
namanya dicemarkan, tetapi mereka adalah dua orang tak beruntung yang rekaman
videonya disebarluaskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketidakberpihakan Bali Post juga tampak
pada berita yang berjudul, “”Tatto dipinggul Luna Dihilangkan? Ariel Belum Akui
Terlibat Adegan Porno” (BP/ 19-06-2010). Berita ini adalah berita yang paling
jelas menunjukkan logika berpikir yang digunakan Bali Post. Dari judul berita,
kata “belum” dipilih untuk menunjukkan bahwa suatu ketika (apabila saatnya
telah tiba) maka akan muncul pengakuan dari Ariel dan rekan-rekannya bahwa
benar merekalah pelaku dalam video tersebut, bukan orang lain yang mirip secara
fsik dengan mereka. Dan, kutipan narasumber lagi-lagi mengkuatkan logika
berpikir yang demikian. Bahwa si pelanggar norma ini seharusnya segera dijatuhi
hukuman yang setimpal dan mengalami hidup sebagai rakyat jelata di dalam bilik
penjara.
Seperti mitos Adam Hawa yang terusir dari
surga karena pelanggaran yang mereka lakukan, dan mereka hidup sengsara
didunia.
...Ariel,
Luna Maya dan Cut Tari belum mengakui terlibat adegan porno pada video yang
beredar di masyarakat. Demikian diungkapkan Direktur I Keamanan Transnasional
Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Brigadir Jenderal Pol. Saud Usman Nasution,
Jumat (18/6) kemarin.
Meski demikian, Saud menegaskan, penyidik tidak membutuhkan pengakuan dari ketiga selebriti yang masih berstatus saksi korban itu, karena polisi bekerja berdasarkan pembuktian untuk menjadi alat bukti. ''Kita tidak perlu pengakuan, tetapi alat bukti yang cukup untuk membuat konstruksi hukum,'' kata Saud.
Meski demikian, Saud menegaskan, penyidik tidak membutuhkan pengakuan dari ketiga selebriti yang masih berstatus saksi korban itu, karena polisi bekerja berdasarkan pembuktian untuk menjadi alat bukti. ''Kita tidak perlu pengakuan, tetapi alat bukti yang cukup untuk membuat konstruksi hukum,'' kata Saud.
(Tato di Pinggul LM dihilangkan?, BP/ 19-06-2010)
Selain kepolisian, narasumber lain yang
tercatat adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Hadi Supeno. Meski
dirinya diwawancarai sebagai ketua KPAI, yang seyogyanya bicara mengenai dampak
video terhadap anak-anak, namun justru Bali Post mengutip pendapat dalam
konteks hukum yaitu pasal-pasal yang dapat dikenakan kepada ketiga artis yang
terlibat Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi; Undang-undang
No. 11 tahun 2008 pasal 27 ayat 1 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
dan, Pasal 282 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Tindakan Asusila).
Hal
lain yang menarik adalah pernyataan menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul
Sembiring. Meski mengakui bahwa lembaga yang ia pimpin masih bekerjasama dengan
kepolisian untuk mengungkap siapa pelaku video, akan tetapi di lain pernyataan
yang dikutip ia menyatakan jika beredarnya video porno tersebut telah menganggu
banyak pihak, termasuk dirinya dalam menjalankan tugas negara.
Ariel,
Luna, dan Cut Tari pun menjadi pesakitan dalam lembar-lembar Bali Post, melalui
pemilihan kata, kategorisasi, dan juga penyusunan alur cerita, secara sadar
ataupun tidak Bali Post telah mengajak pada pembaca untuk mempercayai ke-aib-an
hubungan seksual, dan siapapun yang ketahuan melakukan hubungan seksual maka ia
layak mendapatkan hukuman. Tak perlu proses hukum yang panjang untuk mencari
siapa yang salah, karena pelaku adalah satu-satunya pihak yang bersalah dalam
kasus ini. Dan, pelaku disini merujuk kepada ketiga artis papan atas Indonesia.
Serambi Indonesia: Gelar ”Cut” Tak Layak Disandang
oleh Pelaku Video Porno
Apabila
Bali Post melihat peristiwa video porno ini sebagai persoalan hukum, maka
pendekatan yang berbeda dilakukan oleh harian lokal Aceh, Serambi Indonesia.
Koran dengan oplah terbanyak di Aceh ini memandang realitas Ariel-Luna-Cut Tari
sebagai permasalahan sosial. Maka, sudut pandangh yang digunakan oleh mereka
dalam mengemas berita video artis ini tentu dari sudut pandang dampak sosial
yang ditimbulkannya.
Sehingga,
beberapa tema yang muncul selalu berkait dengan efek lanjut dari kehadiran sang
artis dalam video porno. Budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islami merasa
terusik dengan zina yang dilakukan oleh idola mereka. Beberapa judul berita
yang mereka gunakan menunjukkan hal tersebut, misalkan: “Warga Aceh Kecewa Jika
Benar Cut Tari Beradegan Mesum” (10/06); “Ariel Dilaporkan ke Polisi dan Dewan
Pers” (13/06); “Cut Tari Cs dicekal Masuk Aceh” (18/06).
Bagi
SI, aktor utamanya bukanlah Ariel, tetapi Cut Tari. Ini membedakan pemberitaan
mereka dengan media massa lain yang menempatkan Ariel sebagi lakon utama dalam
cerita video porno ini. Nama Cut yang identik dengan Aceh menjadikan Cut Tari
sebagai fokus utama perhatian mereka.
Cut dalam budaya Aceh merujuk
pada gelar bagi para perempuan bangsawan keturunan Sultan Aceh “Uleebalang”,
dan yang laki-laki bergelar “Teuku” didepan nama mereka. Bangsawan Aceh
dituntut untuk mampu menjadi panutan dan pengayom bagi rakyat kebanyakan.
Sehingga, mereka memiliki ekspektasi moralitas tinggi kepada individu yang
bergelar Cut atau Teuku.
Kebanggan Aceh terhadap sosok
Cut Nyak Dien, pahlawan perempuan yang dikenal karena ketegarannya dan semangat
perjuangannya melawan kolonialisme di bumi Serambi Mekkah. Beliau menjadi
panglima perang setelah suaminya, Teuku Umar gugur dalam peperangan. Seorang
perempuan dengan baju dan rambut yang disanggul khas Aceh dengan pedang yang
diselipkan diantara selendang inilah yang dijadikan mitos akan keanggunan
seorang “Cut”.
Sementara, Cut Tari yang hadir
dengan rambut terawat yang indah dibiarkan tergerai. Baju yang dikenakannya
hampir selalu minimalis dan memperlihatkan seluruh pesona tubuhnya yang indah
kala didepan kamera sangat mengusik warga Aceh. Kemarahan semakin memuncak terhadap
Cut Tari ketika ia terseret pada kasus video porno.
Serambi Indonesia, juga
berperan serta dalam menyuarakan kemarahn-kemarahan warga. Berita-berita yang
disajikan merepresentasikan kekecewaan. Meskipun, dengan kedok yang hampir sama
yaitu menggunakan mulut ketiga (narasumber) untuk melegitimasi subyektifitas
pemberitaan mereka. Berikut beberapa contoh kutipan yang ada dalam berita SI:
...”sebagai public figure,
semestinya mereka menjadi panutan. Bukan justru sebaliknya” Pernyataan Wakil
Gubernur Aceh, M. Nazar.
...Ulama Aceh, Tengku H.
Nuruzzahri mendukung langkah pemerintah Aceh mencekal artis yang terlibat video
porno masuk ke Aceh.
...Aceh harus disterilkan
dan jangan diberi keleluasaan orang luar masuk Aceh yang tidak selaras dengan
syariat. Kebijakan Wagub yang melanggar syariat tidak boleh masuk Aceh suatu
kemaslahatan untuk penegakan syariat Islam.
...Cekal dan boikot hasil
karya tiga artis yang diduga terlibat video mesum adalah sauatu hal yang baik
dan patut didukung. (Anggota Komisi G DPRD Aceh, Tgk. Mohariandi)
(“Cut Tari cs
Dicekal Masuk Aceh”, SI/ 18-06-2010)
Untuk
labelling terhadap beberapa hal juga menunjukkan bahwa SI memandang
video porno sebagi pelanggaran terhadap syariat Islam yang menjadi landasan
konstitusi di daerah Aceh. Maka, mereka lebih senang menggunakan istilah “video
mesum” daripada “video porno’, juga ada istilah “film mesum” yang mengandung
kecurigaan adanya unsur sengaja dalam produksi maupun distribusinya, “kasus
asusila”, “adegan mesum”, “video syur”, “adegan asusila”, “Perbuatan tidak
senonoh” menguatkan indikasi bahwa apa yang dilakukan oleh ketiga artis tak
pantas, tak layak, tak patut, dan suatu hal yang memalukan. Sehingga, pelakunya
haruslah diberi hukuman seberat-beratnya, dan identitas “Cut” yang disandang Cut
Tari Aminah Anasya (nama asli Cut Tari) harus dicabut.
Pikiran Rakyat: Bandung Tak Lagi Bangga
Memiliki Ariel
...mereka semua tidak boleh tampil di kota
Bandung. Grup band Peterpan boleh tampil asal tanpa Ariel. (Walikota Bandung,
Daz Rosada)
(Ariel Terancam
Tercoret Sebagai Warga Kota Bandung, PR/ 14-06-2010)
Diatas adalah kutipan salah satu isi
berita seputar video porno Ariel Peterpan di harian Pikiran Rakyat. Sepintas,
sepertinya apa yang disuarakan oleh walikota mewakili suara mayoritas warga
Bandung. Namun, ternyata tak semua sepakat dengan ide mendepak Ariel dari
Bandung.
Nazriel Ilham, sebelum peristiwa video
porno mencuat adalah salah satu anak daerah yang menjadi kebanggan kota
Bandung. Sukses besar yang diraih Peterpan diakui tak lepas dari tangan dingin
Ariel yang menciptakan sebagian besar lagu-lagu yang dibawakan grup band
terpopuler ini.[7]
Sehingga, dapat dipastikan apabila Peterpan tampil di Kota Kembang, sambutan
yang didapatkan pun selalu hangat dan meriah.
Pasca beredarnya video, ternyata gambaran
Ariel sebagai pemuda Bandung yang sukses dalam merintis karir musiknya menjadi
kandas. Kekecewaan publik tercermin dari banyaknya hujatan yang dilayangkan
kepada Ariel diunggah di situs Pikiran Rakyat, meski tak dapat dipungkiri
sebagian masyarakat juga melihat kasus ini bukanlah kesalahan Ariel semata, dan
Ariel dkk hanyalah korban dari moralitas yang bobrok di masyarakat.
Sementara, Pikiran Rakyat sebagai
institusi sosial ia juga memiliki nilai-nilainya sendiri dalam melihat
persoalan Ariel. Pada awal kasus, Pikiran Rakyat masih menggunakan label
“rekaman video dengan adegan seksual”, label tersebut terkesan lebih netral dan
based on fact karena faktanya didalam rekaman yang diberitakan memang
berisi adegan seksual antara Ariel dan Luna Maya maupun Ariel dengan Cut Tari. Penggunaan
istilah “mesum” atau “asusila” muncul di kemudian hari seiring dengan
ditemukannya bukti-bukti yang mengarah pada bahwa memang benar adanya jika di
video tersebut adalah sosok Ariel yang sebenarnya, bukan seseorang hanya
kebetulan mirip Ariel.
Meski demikian, Pi-Ra berbeda dengan dua
media lain yang secara tegas menghakimi ketiga figur artis. Pi-Ra berusaha
melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga berita yang muncul
ada yang masuk pada kategorisasi hukum & kriminal, kategori hiburan, atau
kategori peristiwa sosial. Dari sisi pemilihan narasumber, Pi-Ra juga berusaha
mencakup semua pihak yang mewakili bermacam kepentingan –Polri, Kuasa hukum
artis, narapidana lain, awam, dan juga pemerintah). Hal ini dapat dimengerti,
karena Bandung adalah salah satu kota di Indonesia dengan toleransi terhadap
nilai-nilai baru sangat tinggi.
Bisa jadi apa yang dilakukan oleh Pikiran
Rakyat ini adalajh imbas dari dimungkinkanya komunikasi interaktif antara media
dengan pembacanya yaitu melalui cara online. Dan, dari data pengamatan
diketahui bahwa sebagian komentar-komentar yang masuk juga menganggap media
massa terlalu lebay atau membesar-besarkan peristiwa ini dalam berita
mereka.
Media, Identitas, dan Konstruksi Budaya
Realitas
sosial bagi kaum konstruktivis adalah produk dari manusia, hasil proses budaya,
termasuk didalamnya penggunaan bahasa. Van Dijk menyatakan bahwa lewat kampanye
(dis)informasi kelompok kuat dapat menanamkan ideologi mereka kepada kelompok
lemah.[8]
Seperti
yang diungkap oleh Mc. Quail, media massa memiliki kemampuan unutk menyaring
sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang
menghalangi kebenaran.[9]
Maka,
makna suatu peristiwa dalam hal ini video porno Ariel, Luna Maya,da, Cut Tari) yang
diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa, sebenarnya suatu konstruksi
makna yang temporer dan subyektif. Apa yang dituliskan menjadi berita tentu
bukanlah mewakili realitas yang sebenarnya. Proses selektifitas –mulai dari
selektif terhadap peristiwa hingga selektifitas makna- yang dilakukan oleh
jurnalis dan editor, disadari atau tidak berperan dalam menghasilkan judul
berita, pemilihan katagori, pemilihan labelling; pemilihan narasumber
dan kutipan narasumber, pemilihan foto, dan lain sebagainya.
Banyak
informasi dalam sebuah wacana (berita) itu tidak nampak secara eksplisit, namun
implisit. Kata, katagorisasi, klausa, metafor-metafor, bisa jadi mengisyaratkan
konsep atau proposisi-proposisi yang dapat diduga berdasarkan frame of
references dan field of experiences. Tentu apabila kita berbicara
tentang dua hal tersebut (frame dan field) tak dapat kita lepaskan dari konteks
budaya yang melingkupinya. Dengan kata lain, media menjadi agen dalam
transformasi dan internalisasi nilai-nilai budaya. Termasuk didalamnya adalah
identitas seseorang berdasar budaya tempat ia dibesarkan.
Maka,
orang-orang seperti Ariel, Luna, dan Cut Tari tak memiliki sebuah daya untuk
melawan apa yang dibentukkan bagi mereka. Kepasrahan mereka untuk dicerabut
identitas kulturalnya (Ariel dicoret jadi warga Bandung, Luna dihakimi oleh
media Bali dan Cut Tari yang dianggap tak layak menyandang gelar “Cut”) kembali harus tunduk kepada media sama
seperti ketakberdayaan mereka ketika identitas-identitas tersebut dijejalkan
secara paksa pada diri mereka.
[1] Penulis memilih tidak menggunakan kata “mirip” Ariel-Luna Maya, agar tidak
menimbulkan paradoks dengan berbagai perkembangan temuan-temuan yang mereduksi
kata “mirip” itu sendiri.
[5] Edelman dalam Eriyanto, Analisis
Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media; 2007 (hal. 164)
[6] Tentu alasan yang digunakan oleh media massa bahwa narasumber tidak mau
memberikan komentar. Akan tetapi, penulis melihat bahwa tehnik doorstep
(mencegat narasumber untuk mendapatkan pernyataan) adalah cara instan dan tidak
efektif untuk mendapatkan keterangan. Ironisnya, justru jalan ini yang
seringkali diambil oleh para jurnalis, sehingga jawaban “no comment” dari
narasumber yang berjalan tergesa-gesa sudah cukup mengakhiri usaha mereka
mencari keterangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar