Abstraksi
Keywords:
Environmental Journalism, Mud Vulcano, textual analysis
Concept
of environmental journalism was developed from environmental communication
which reviews on how individual, institution, society and culture accept,
understand, form, divert and utilize messages concerning environment as much as
inter relationships between human and environment. The major demand on
environmental journalism is how mass media as a source of public information
takes responsibility to voice environmental issues that enables public to
clearly understand and become aware of any dangers on their surroundings.
In
this study, researcher wants to explore how environmental news coverage is
performed by Indonesia
mass media, especially Jawa Pos. The said environmental news is about mud
volcano at Brantas Block in East Java .
This
study takes focus on news publicized by Jawa Pos as one of the biggest mass
media that is geographically close to disaster area. Hence, researcher uses
textual analysis method. Researcher tries to capture understandings on how Jaw
Pos journalists understand and news pack this mud volcano.
When
an environmental incident occurs, no matter it is caused by nature or human
error, this will lead but not limited to environmental aspects. Other aspects
like socio economy, law and politics can be affected. Media is highly expected
to have carefulness in focusing to root causes of disaster, environmental
mitigation actions, and recovery plan dealing with the disaster.
Last but not least, media
should be able to take distance with interest groups that may make use of the
environmental disaster. Environmental crime could be executed by individual,
corporation or power group. Failure of mass media to perform environmental
journalist can lead to another tragedy to environment.
Konsep jurnalisme lingkungan (environmental journalism) dikembangkan
dari komunikasi lingkungan, yang mengkaji bagaimana individu, lembaga,
masyarakat, serta budaya menerima, memahami, membentuk, menyampaikan, dan
menggunakan pesan tentang lingkungan, serta hubungan timbal-balik antara
manusia dan lingkungan. Tuntutan utama dari jurnalisme lingkungan adalah
bagaimana media massa
sebagai sumber informasi utama publik memiliki kewajiban untuk menyuarakan isu-isu lingkungan sehingga
publik dapat secara jelas memahami dan menyadari bahaya yang ada di lingkungan
mereka.
Pada penelitian ini, peneliti ingin
mengeksplorasi bagaimana praktik liputan berita lingkungan, yang menjadi ranah
jurnalisme lingkungan dilakukan oleh media massa Indonesia, khususnya Jawa Pos.
Berita lingkungan yang dimaksud adalah mengenai bencana lingkungan semburan
lumpur (mud volcano) di penambangan
Blok Brantas Jawa Timur. Pemilihan surat kabar
Jawa Pos dikarenakan media ini adalah media massa nasional terbesar dan memiliki
kedekatan geografis dengan lokasi bencana. Menggunakan metode textual
analysis, peneliti mencoba mendapatkan pemahaman bagaimana jurnalis Jawa
Pos memahami dan mengemas berita semburan lumpur panas tersebut.
Ketika terjadi persoalan lingkungan, baik yang
berupa bencana alam maupun kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, memang
tidak hanya menyangkut lingkungan belaka, namun aspek lain seperti ekonomi,
sosial, hukum, dan politik juga terimbas. Media dituntut untuk memiliki
kejelian dalam memfokuskan diri pada akar utama penyebab bencana, tindakan
mitigasi lingkungan, dan rehabilitasi yang dapat diupayakan dalam kasus
tersebut.
Media harus mampu memisahkan diri dari
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang seringkali ikut bermain dalam
kasus lingkungan, Kejahatan terhadap lingkungan dapat dilakukan oleh individu
maupun korporasi, bahkan kelompok penguasa. Apabila media massa gagal dalam menjalankan jurnalisme
lingkungan, maka hal tersebut menjadi
bencana bagi lingkungan itu sendiri.
Pendahuluan
Jurnalisme lingkungan
berkembang pada tahun 1980-an, ketika insiden lingkungan banyak terjadi di
negara-negara barat. Pada saat itu bencana lingkungan dalam skala besar terjadi
di berbagai belahan dunia, limbah merkuri di perairan Ontario, hujan asam,
rusaknya habitat burung akibat penggunaan pestisida, hingga insiden nuklir di
kota Chernobyl, Ukraina yang menyebabkan lebih dari lima juta orang terpapar
radiasi zat radioaktif penyebab kanker. Sejak itu, kesadaran akan pentingnya
menyajikan liputan yang dapat menggugah kesadaran terhadap bahaya lingkungan
mulai muncul di kalangan media massa
Dalam membuat liputan peristiwa-peristiwa di atas,
media dibanjiri informasi dari seluruh aspek yang berkait dengan persoalan
tersebut, mulai dari aspek sosial, hukum, ekonomi, maupun politik. Akan tetapi,
aspek lingkungan yang menjadi akar persoalan justru tidak banyak disentuh
karena ketidakmampuan jurnalis memahami persoalan lingkungan secara
komprehensif.
Keadaan ini mengundang
keprihatinan dari para praktisi media, sehingga pada tahun 1990-an berdiri The
Society of Environmental Journalists (SEJ) yang dipelopori The
Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting, Minnesota Public Radio,
dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah untuk menguatkan
kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme dalam memberikan informasi
kepada publik untuk memahami isu lingkungan (Rademakers, Tesis, 2004: 4).
Terbentuknya SEJ diikuti
oleh pendirian organisasi-organisasi profesional yang juga concern terhadap persoalan lingkungan,
juga lembaga-lembaga kajian maupun institusi akademis. Misalkan The
Environmental Journalism Center of The Radio – TV News Director Association and
Foundation
(1991), Center for
Environmental Journalism – University of Colorado (1992), International
Federation of Environmental Journalists (1993), Knight
Center for Environmental Journalism – Michigan State University (1994), Earth
Journalism Network
(2004).
Di Indonesia sendiri, kerusakan
lingkungan acapkali muncul dan menimbulkan ribuan korban jiwa. Mulai dari
pengerukan pasir, perburuan satwa liar, kebakaran hutan, hingga penambangan.
Namun, masalah-masalah tersebut menahun karena kurangnya perhatian masyarakat
pada isu-isu lingkungan.
Salah satu masalah yang
muncul adalah semburan lumpur panas Sidoarjo pada 2006 yang menenggelamkan tiga
kecamatan di Sidoarjo. Hingga sekarang, bencana ini telah membuat ribuan warga
dievakuasi. Puluhan ribu unit rumah dan berbagai infrastruktur terendam lumpur.
Belum lagi ancaman kesehatan dari berbagai materi yang terkandung di lumpur,
diantaranya gas Hidrogen Sulfida, fenol, Kadmium (Cd), Timbal (Pb),
dan besi (Fe) yang melebihi ambang baku
mutu.
Disinilah peran jurnalis untuk memahami kompleksnya
permasalahan,
kemudian
memberi pemahaman kepada khalayak
tentang apa yang terjadi dengan lingkungan mereka, bahaya apa yang sedang
mengintai, dan bagaimana mengatasi persoalan tersebut. Dengan kata lain, etika
jurnalisme lingkungan menjadi sebuah tuntutan yang tak terelakkan.
Rumusan Masalah
Tulisan ini
berfokus
pada analisis
pemberitaan bencana lumpur panas Sidoarjo ditinjau dari
perspektif jurnalisme lingkungan (environmental
journalism). Peneliti bermaksud
melihat bagaimana harian
Jawa Pos sebagai salah satu media massa terbesar di Indonesia memberitakan insiden-insiden lingkungan, dengan menerapkan
prinsip-prinsip jurnalisme lingkungan yang informatif, edukatif, dan preventif.
Informatif berarti berita memuat informasi yang
lengkap tentang sebuah isu lingkungan (5w1h). Edukatif berarti berita dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sebuah kasus lingkungan. Solutif
berarti media dalam berita-berita yang mereka produksi mampu membuat sebuah
prediksi-prediksi dari gejala alam yang ada, sehingga dapat mengajak masyarakat
untuk melakukan tindakan preventif dari bencana yang mengancam (Patel, Samir S.
2006. Island of Understanding : Environmental Journalism
in the South Pacific. Pacific Journalism Review dalam laman www.pjreview.in
Menurut Samir dalam tulisannya, “Island of Understanding: Environmental Journalism in The South Pacific”
(2006) yang dimuat di laman www.pjreview.info,
informatif berarti berita memuat informasi yang lengkap
tentang sebuah isu lingkungan (5w1h), edukatif berarti berita dapat memberikan pemahaman
kepada masyarakat tentang sebuah kasus lingkungan, dan solutif berarti media
dalam berita-berita yang mereka produksi mampu membuat sebuah prediksi-prediksi
dari gejala alam yang ada, sehingga dapat mengajak masyarakat untuk melakukan
tindakan preventif dari bencana yang mengancam.
Jawa Pos dipilih sebab
selain sebagai koran dengan jumlah pembaca
terbesar di Indonesia (Survey Nielsen Media Research, 2009), juga memiliki kedekatan
geografis dan psikografis dengan lokasi bencana semburan lumpur.
Metode
Metode yang digunakan untuk mengkaji persoalan di
atas adalah analisis tekstual, sebab penelitian ini tak hendak
mencari apakah berita-berita lumpur Sidoarjo benar atau tidak (quantitative content analysis) , atau hanya sekedar
melihat bingkai yang digunakan oleh media massa dalam mengemas berita lumpur
Sidoarjo (framing
analysis).
Akan tetapi, penulis ingin
melakukan pengamatan yang lebih mendalam dari
sebuah teks dan mendapatkan intepretasi komprehensif mengenai bagaimana media memahami
dan mengolah informasi berkait dengan lingkungan dan menyampaikan kepada
khalayaknya.
Jurnalisme Lingkungan
Sebagai Sebuah Praktik
Akar dari jurnalisme
lingkungan adalah komunikasi lingkungan, yang mengkaji bagaimana individu,
lembaga, masyarakat serta budaya
menerima,
memahami,
membentuk, menyampaikan
dan menggunakan pesan tentang lingkungan itu sendiri, serta hubungan
timbal-balik antara manusia dengan lingkungan (Cox, 2010: 6).
Jurnalisme lingkungan (environmental journalism) adalah konsep yang
berkembang pada akhir 1980-an, ketika peristiwa kerusakan lingkungan mulai
muncul dengan berbagai skala kerusakan. Istilah ini merujuk pada pemberitaan
jurnalis yang berkait dengan isu-isu lingkungan. Beberapa sebutan lain yang
sejenis adalah green
press,
eco-journalism, liputan lingkungan (environmental reporting), atau science reporting.
Menurut Frome, jurnalisme
lingkungan adalah menulis dengan sebuah tujuan, yaitu untuk menyuarakan isu
lingkungan kepada publik dengan menyajikan data-data akurat, sehingga dapat memberikan peran
pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik berkait dengan isu
lingkungan (Rademakers, 2004: 15).
Jurnalisme lingkungan merupakan pengejawantahan dari
konsep DE dalam lingkup jurnalistik. Pada saat gerakan-gerakan lingkungan
sebagai wujud etika DE muncul, di kalangan industri media juga sedang terjadi booming
isu-isu lingkungan yang besar, diantaranya ancaman limbah beracun merkuri
di perairan Ontario, dan juga hujan asam yang terjadi di pertengahan tahun
1970.
Pada 26
April 1986 terjadi insiden Chernobyl, yaitu ledakan pembangkit listrik tenaga
nuklir di kota Chernobyl, Ukraina. Peristiwa ini menyebabkan 600.000 orang
terkena radiasi tingkat tinggi, dan lima juta orang terpapar low radiation.
Akibat radiasi ini adala thyroid cancer (Chernobyl Legacy: Health,
Environmental & Socio-Economic Impacts and Recommendations to The
Government of Belarus, The Russian Federation and Ukraine, The Chernobyl Forum, 2005:
103).
Peristiwa
tersebut merupakan bencana lingkungan terburuk yang diakibatkan oleh faktor
manusia. Pada saat itu media massa dibanjiri oleh informasi dari seluruh aspek
yang berkaitan dengan peristiwa tersebut (politik, ekonomi, hukum), namun aspek
lingkungan sendiri tidak banyak disentuh oleh jurnalis karena mereka tidak
mampu memahami persoalan lingkungan secara scientific.
Pada
tahun 1990, berdiri The Society of Environmental Journalists (SEJ) yang
dipelopori oleh The Philadelphia Inquirer, USA Today, Turner Broadcasting, Minnesota
Publik Radio, dan National Geographic. Misi dari organisasi ini adalah untuk
menguatkan kualitas, capaian, dan viabilitas dari jurnalisme pada seluruh media
massa dalam memberikan advokasi kepada publik untuk memahami isu-isu lingkungan
(Rademakers, 2004: 4).[1]
Selain
SEJ, masih banyak lagi organisasi yang didirikan, juga lembaga-lembaga kajian
maupun institusi akademis. Misalkan The
Environmental Journalism Center of The Radio – TV News Director Association and
Foundation (1991), Center for Environmental
Journalism – University of Colorado (1992), International Federation of Environmental Journalists (1993), Knight Center for Environmental Journalism –
Michigan State University (1994), Earth
Journalism Network (2004)
Di Indonesia, beberapa organisasi professional untuk
jurnalis lingkungan juga telah didirikan, diantaranya adalah Masyarakat
Jurnalis Lingkungan Indonesia atau Society
of Environmental Journalism (SIEJ), Kelompok Jurnalis Peduli Lingkungan
(KJPL), dan Sahabat Alam.
Dalam praktiknya, jurnalis lingkungan dituntut mampu menguasai
persoalan lingkungan secara komprehensif, sehingga dapat memberikan informasi
yang jelas, solusi-solusi, memberikan prediksi berkait dengan potensi resiko
baik yang berskala kecil maupun besar, berkait dengan sebuah isu lingkungan.
Jurnalis tidak lagi hanya bersandar kepada informasi dari kelompok-kelompok
tertentu seperti pemerintah, pelaku industri, bahkan para aktivis lingkungan, dalam memahami sebuah
isu lingkungan (Keating, 1993).
Dalam kode etik yang
ditulis American Society of News Editors (ASNE) disebutkan bahwa “tujuan utama dari
membagi dan mendistribusikan berita adalah untuk menjaga kesejahteraan bersama
dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat dan menjadikan mereka mampu
membuat penilaian-penilaian mereka sendiri terhadap isu-isu yang berkembang”.
Ketika media mengambil
bagian dalam mengawal isu dan memberikan literasi kepada masyarakat terhadap
hal tersebut, maka tak cukup hanya dengan memberikan informasi belaka, akan
tetapi penyusunan alur cerita dan sudut pandang yang digunakan juga menjadi unsur
penting dalam pemberitaan.
Dalam persoalan
lingkungan, media juga dipandang sebagai pihak yang memiliki
tanggung jawab besar untuk memberikan enlightment bagi masyarakat mengenai
bahaya yang sedang mengancam lingkungan mereka. Patel (2006), mengatakan bahwa jika
seorang ilmuwan dapat mengidentifikasi potensi masalah lingkungan jauh sebelum
seorang pun dapat mengatakan efek riilnya, maka jurnalis harus berusaha untuk
memahami isu tersebut, dan menemukan titik keseimbangan antara resiko yang
tampak maupun yang laten.
Ketika Center of
Journalism dibentuk di University
of Colorado pada tahun
1992, para akademisi dan praktisi media memiliki kesadaran akan perlunya sebuah
standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Enam tahun kemudian, dilakukan
ratifikasi code of ethics dalam event 6th World
Congress of Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo ,
Sri Lanka .
Adapun poin-poin yang diratifikasi:
1. Jurnalis
lingkungan harus menginformasikan kepada publik tentang hal-hal yang menjadi
ancaman bagi lingkungan mereka, baik yang berskala global, regional, maupun lokal.
2.
Tugas para jurnalis adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan isu-isu
lingkungan. Jurnalis harus berusaha untuk melaporkan dari berbagai sudut padang berkait dengan lingkungan
3.
Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan orang akan hal-hal yang
mengancam lingkungan mereka, tetapi juga menempatkan hal tersebut sebagai
pembangunan. Jurnalis harus berusaha untuk menuliskan solusi-solusi untuk
persoalan lingkungan
4.
Jurnalis harus mampu memelihara jarak dan tidak memasukkan kepentingan mereka.
Sebagai aturan, jurnalis harus melaporkan sebuah isu dari berbagai sudut
pandang, terutama isu lingkungan yang mengandung kontroversi
5.
Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari informasi yang sifatnya
spekulatif/ dugaan dan komentar-komentar tendensius. Ia harus men-cek
otentisitas narasumber, baik dari kalangan industri, aparat pemerintah,
atau dari aktivis lingkungan
6.
Jurnalis lingkungan harus mengembangkan keadilan akses informasi dan membantu
pihak-pihak,
baik institusi maupun
perorangan untuk mendapatkan
informasi tersebut.
7.
Jurnalis harus menghargai hak dari individu yang terkena dampak kerusakan
lingkungan, bencana alam, dan sejenisnya
8.
Jurnalis lingkungan tidak boleh menyembunyikan informasi yang ia yakini sebagai
sebuah kebenaran, atau membangun opini publik dengan hanya menganalisis satu
sisi saja
Di Indonesia sendiri,
peran masyarakat telah diatur dalam Undang-undang Lingkungan
Hidup Nomor 32 Tahun 2009 pasal 70 (1), “Masyarakat memiliki hak dan kesempatan
yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup”.
Media massa dalam konteks ini dianggapsebagai
bagian dari masyarakat, jelas memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi
yang memungkinkan masyarakat untuk berperan dalam menjaga lingkungan hidupnya,
selain tanggung jawab media itu sendiri untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap
berbagai kegiatan yang membahayakan bagi lingkungan hidup.
A. Berita
Lingkungan Jawa
Pos
Dari
hasil inventarisasi yang dilakukan, diketahui bahwa pada tahun 2010 pemberitaan
yang berkait dengan lumpur Sidoarjo di Jawa Pos muncul sebanyak 256 item
berita. Akan tetapi, tidak semua berita yang dimuat adalah berita lingkungan. Secara
garis besar, ada dua jenis berita, yaitu berita dengan beat lingkungan dan non lingkungan.
Beat menurut Potter dalam Buku Pegangan Jurnalis
Independen (2006) adalah bidang-bidang khusus dalam pemberitaan, baik
kekhususan dalam hal geografi maupun
topik. Jurnalis dengan beat-beat tertentu harus menguasai benar wilayah
mereka dan orang-orang yang berkecimpung didalamnya, sehingga mereka tidak
hanya sekedar menyampaikan informasi, akan tetapi juga menjadi penerjemah dan
penafsir bagi pembacanya
Untuk
beat lingkungan,
isu yang muncul adalah persoalan mitigasi bencana, rehabilitasi lingkungan, pencemaran
lingkungan, dan aspek hukum dari kejahatan lingkungan.
A.1. Pengaburan fakta dalam Berita Mitigasi Bencana
Pemberitaan
Jawa Pos, sebagian besar didominasi oleh tema mitigasi yang dilakukan oleh
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)[K1] , sebuah lembaga
yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007. Tugas lembaga ini adalah
mengadakan berbagai upaya penanggulan lumpur, penanggulangan semburan lumpur,
dan penanganan masalah sosial dan infrastruktur pasca semburan lumpur.
Dari
analisis teks yang dilakukan peneliti, tampak bahwa Jawa Pos dalam
pemberitaannya mengambil angle atau sudut
pandang kerja keras BPLS dalam menangani permasalahan berkait lumpur panas
Sidoarjo, misalkan dari pemilihan kata-kata yang digunakan dalam judul berita: Antisipasi Tanggul Jebol Lagi: BPLS Optimalkan
Pompa dan Saluran Air (15/01), Kolam Penuh, BPLS Alirkan ke Lahan Warga (18/ 01), BPLS Bangun Tanggul untuk Tampung Air Lumpur (19/01), Antisipasi Banjir: Manfaatkan Drainase (22/01), BPLS Siapkan Kapal Keruk (25/01), Kapal Keruk Sudah Tiba (01/02), Musim Hujan Tanggul Aman (25/02), Normalkan drainase (02/08), BPLS Siapkan Tanggul Baru: Pasca Melubernya
Lumpur (09/08).
Dari
judul-judul diatas, konotasi yang didapatkan oleh penulis adalah kesigapan BPLS
dalam menangani permasalahan yang muncul di lapangan. Dari invetarisir yang
dilakukan oleh penulis, terdapat tiga persoalan yang menonjol berkait dengan
mitigasi, yaitu: persoalan penanggulan, drainase, pengawasan terhadap bubbles baru.
Pada
berita-berita penanggulan –problem yang selalu menjadi tema utama ketika musim hujan tiba, karena tanggul sering
jebol akibat air hujan menambah debit air di dalam tanggul- Jawa Pos cenderung
melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang keberhasilan BPLS menangani
permasalahan tanggul. Sebagai representasi pemerintah, . BPLS dianggap telah
mengambil langkah tepat dan efektif dalam mengantisipasi tanggul jebol. .[K2] Misalkan,
berita “Antisipasi Tanggul Jebol Lagi: BPLS Optimalkan Pompa dan Saluran Air”
(15/01).
Tabel
4.1. Elemen Berita tentang Kesigapan BPLS
Menghadapi
Musim Hujan
Judul
|
Antisipasi Tanggul Jebol LAgi: BPLS Optimalkan
Pompa dan Saluran Air (15/01)
|
Lead
|
Musim hujan
selalu menjadi momok bagi BPLS. Sebab, saat itulah kolam lumpur
sering dipenuhi air hujan. Yang dikhawatirkan, tekanan air lebih kencang
daripada lumpur, sehingga bisa mengancam tanggul
|
Exemplaar
|
Sedikitnya
200 dump truck berisi pasir
dan batu (sirtu) dipasok setiap hari. Material itu digunakan unut memperkuat
sisi luar tanggul agar lebih kokoh.
Agar tidak
mudah terkikis, BPLS juga menanami rumput di dinding luar tanggul.
Penguatan tanggul
itu terus dilakukan meski kondisi jalan licin
Di bagian
dalam, BPLS mencegah genangan air yang berlebihan. Sebab, hal itu bisa
mengancam kekuatan tanggul. Untuk itu, saluran air dipasang di delapan titik.
Tujuannya, air di dalam kolam bisa lancer mengalir keluar
Upaya itu
masih ditambah pengoperasian
|
Kata, frasa,
dan klausa yang menonjol
|
Tekanan air
lebih kencang; terkikis air hujan; tekanan air dalam kolam sangat kuat;
tanggul jebol dan tidak kuat menahan tekanan air tersebut; kondisi jalan
licin; tergerus air hujan
|
Kutipan
Narasumber
|
“itu yang
kami maksimalkan” HUmas BPLS Achmad Zulkarnain
“Secara
keseluruhan tanggul aman. Perbaikan dan perawatan terus dilakukan. Alat berat
juga dioptimalkan” Humas BPLS, Achmad Zulkarnain
“Tanggul
yang tergerus air hujan langsung diperbaiki, sehingga tetap kokoh” humas
BPLS, Achmad Zulkarnain
|
Visual Image
|
Tiga orang
pekerja dan dua alat berat (ekskavator) yang bekerja di tanguul lumpur”
dengan latar bagian bagian kanan kiri tanggul adalah kolam lumpur, dan
sebelah kanan tanggul adalah jalan Raya Porong yang dilalui oleh
kendaraan-kendaraan.
|
Caption
|
Penguatan:
penanggulan di Kawasan Siring yang terus berlanjut
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar