Abstract
This paper focuses on the phenomenon of urban society
that tends not to give place to women, especially Muslim women veiled. Such
conditions lead to the efforts of a group of Muslim women to create their own
space, known as the concept of feminine space. Advances in information
technology and communications make this movement gained momentum through the
presence of virtual media, which then led to communities of women hijab
(Hijabers Community). HC community through the women want to change the view
that the hijab that is synonymous with traditionality into something modern,
fashionable and dynamic. The author understands this phenomenon as they attempt
to get space in the urban society.
The author interviewed the women who became motor Hijabers Community groups, to find out how they describe themselves, how they perceive the surrounding environment, and how they view the relationship between them and other groups in urban society.
The author interviewed the women who became motor Hijabers Community groups, to find out how they describe themselves, how they perceive the surrounding environment, and how they view the relationship between them and other groups in urban society.
Keywords: feminine space, urban
communities, Hijabers Community
Latar Belakang
Pada tulisan
ini penulis memberi titik perhatian pada fenomena munculnya
komunitas perempuan perkotaan berjilbab modis, yang mereka sebut “Hijabers Community”. Penulis memahami
fenomena ini sebagai sebuah upaya untuk menciptakan ruang bagi para muslimah
untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat urban.
Hijabers Community adalah sebuah komunitas yang pembentukannya diprakarsai oleh dua orang perempuan muda
Makalah ini
berfokus pada fenomena masyarakat urban yang cenderung tidak memberikan tempat
pada perempuan, terutama perempuan muslim berjilbab. Kondisi yang demikian menimbulkan upaya-upaya
dari kelompok perempuan muslim untuk menciptakan ruang mereka sendiri, yang
dikenal dengan konsep feminine space.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat gerakan ini mendapatkan momentum melalui kehadiran
media virtual, yang kemudian memunculkan komunitas perempuan berhijab (Hijabers Community). Melalui komunitas
HC perempuan-perempuan tersebut ingin
mengubah pandangan bahwa hijab yang
selama ini identik dengan tradisionalitas menjadi sesuatu yang modern, fashionable, dan dinamis. Penulis
memahami fenomena ini sebagai upaya mereka untuk mendapatkan ruang dalam
masyarakat urban.
Penulis
melakukan wawancara terhadap perempuan-perempuan yang menjadi motor kelompok
Hijabers Community, untuk mengetahui bagaimana mereka mendeskripsikan diri
mereka, bagaimana mereka mempersepsi lingkungan sekitar, dan bagaimana mereka
memandang relasi antara mereka dan kelompok lain dalam masyarakat urban.
Struktur Masyarakat Urban yang
Patriarkal
Louis Wirth
mendefinisikan perkotaan sebagai sebuah kombinasi antara tiga hal: ukuran, density (kepadatan penduduk), dan
heterogenitas populasi. Kota
adalah sebuah area dengan populasi yang sangat besar, hubungan yang lebih
formal antar angota-anggota masyarakatnya, dengan relasi sosial yang bersifat sekunder
dan tersier menggantikan relasi primer dalam masyarakat tradisional, dan satu
dengan yang lain saling tidak mengenal.
Wirth membedakan tiga macam relasi sosial yang ada didalam masyarakat, yaitu:
1. Relasi
Primer (primary relationship)
Relasi yang terjalin mengutamakan pertemuan secara tatap muka atau
pertemuan langsung antara anggota-anggota masyarakatnya. Dan, hubungan yang
terjadi lebih bersifat personal
2.
Relasi Sekunder (secondary relationship)
Jika
dibandingkan dengan relasi primer, maka relasi jenis ini lebih jarang dilakukan
tetapi sifatnya langsung menuju pada hubungan interpersonal. Hubungan sekunder
disebabkan adanya tujuan-tujuan tertentu berdasarkan fungsi ekonomi
masing-masing individu.
3.
Relasi Tersier (tertiary relationship)
Pola hubungan
yang paling dekat antar individu-individu dalam masayarakat (more impersonal), pada tahap hubungan
ini anggota masyarakat menikmati relasi mereka dengan kawan-kawan mereka dekat,
keluarga, dan komunitas-komunitas yang memiliki pertalian erat secara emotif. Meskipun demikina, kontak yang terjadi
diantara anggota-anggotanya bersifat tidak langsung. Indirect relations ini
terjadi sebab teknologi informasi dan komunikasi telah mengambil bagian penting
dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga, mereka lebih sering menggunakan dunia
virtual dalam membangun kedekatan dengan kawan, keluarga, maupun
komunitas-komunitasnya.[1]
Pola hubungan yang ketiga inilah yang menjadi ciri dari masyarakat perkotaan, dan membedakannya dengan masyarakat rural (desa). Desa yang cenderung menyukai interaksi tatap muka, menuntut sebuah konformitas dari anggota-anggotanya. Hal ini yang sulit dipenuhi oleh masyarakat
Seperti yang dikatakan Piliang (2004; p. 64) bahwa di era revolusi informasi saat ini, masyarakat memang masih berinteraksi satu dengan yang lain, tetapi kini tidak lagi dalam komunitas yang nyata, melainkan di komunitas virtual. Internet sebagai satu bentuk jaringan komunikasi menawarkan sebuah dunia baru dimana dunia tersebut memiliki komunitasnya sendiri (virtual community), bentuk realitasnya sendiri (virtual reality), dan bentu ruangnya sendiri (cyberspace).
Hal lain yang juga menjadi karakteristik masyarakat
Kaum minoritas, anak-anak, dan perempuan adalah kelompok-kelompok yang rentan terhadap represi kaum dominan di
Setiap
Diskriminasi terjadi ketika individu-individu memiliki asosiasi negatif dengan anggota-anggota dari kelompok yang berbeda, dan hal tersebut akan mempengaruhi perilaku mereka dalam berbagai setting yang berbeda.[2]
Diskriminasi yang terjadi di perkotaan terjadi melalui tiga cari:
1.
Taste-based Discrimination
Perlakuan diskriminatif
yang secara sadar dilakukan berdasarkan subyektifitas preferensi (memilih)
untuk individu-individu yang berada dikelompok tertentu
saya tertarik dengan makalah ini. Boleh tau kesimpulan, kalo perlu pembahasan singkatnya?
BalasHapussaya tertarik sekali...boleh izin akses full makalah nya?
BalasHapusuntuk resource thesis saya...trims...mohon infonya