Rabu, 07 November 2012

Menggugat Frame Modernitas Media dalam Kasus Padepokan Den Bagus di Komunitas Tengger



Putri Aisyiyah Rachma Dewi
STIKOSA, Surabaya

Abstrak
Pada 11 Oktober 2011 terjadi pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus yang berada di tengah-tengah masyarakat Tengger. Hampir seluruh pemberitaan melihat bahwa satu-satunya persoalan yang hadir dalam peristiwa ini adalah “pembakaran tempat agama”, dan ini adalah masuk pada ranah penyerangan terhadap agama dan kelompok tertentu. Tentu saja pembakaran mushala itu adalah suatu tindak penodaan dan sekaligus kriminal yang tidak bisa ditolerir. Kendati demikian, penulis melihat bahwa pemberitaan media massa mengenai peristiwa tersebut sangat bersifat permukaan dan terhenti pada peristiwa itu sendiri.

Tanpa bermaksud membenarkan aksi pembakaran itu, tampak di sana ada problem yang lebih mendalam berkaitan dengan eksistensi masyarakat Tengger sebagai masyarakat adat (indigenous peoples). Sebagaimana umumnya masyarakat adat, orang-orang Tengger juga merupakan minoritas baik dari segi jumlah nominal penduduknya maupun dari segi kebudayaannya. Kehidupan mereka pada dasarnya selalu di bawah ancaman kalangan mayoritas: mayoritas budaya, ekonomi, politik maupun agama.

Studi ini ingin menelusuri bagaimana citra masyarakat Tengger ditampilkan ke dunia luar. Pembacaan terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den Bagus ini menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana perspektif modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang masyarakat Tengger.  Pembacaan pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan bagaimana praktik-praktik pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas (budaya maupun agama) telah mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan tidak mungkin, di masa depan akan menghancurkan.




I. Pendahuluan
Pada 11 Oktober 2011 terjadi pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus yang berada di tengah-tengah masyarakat Tengger. Peristiwa tersebut menjadi perhatian media massa, baik media konvensional maupun online. Hampir seluruh pemberitaan melihat bahwa satu-satunya persoalan yang hadir dalam peristiwa ini adalah “pembakaran tempat agama”, dan ini adalah masuk pada ranah penyerangan terhadap agama dan kelompok tertentu. Wacana yang berkembang adalah penodaan terhadap nilai-nilai kebebasan beragama dan multikulturalisme.
Tentu saja pembakaran mushala itu adalah suatu tindak penodaan dan sekaligus kriminal yang tidak bisa ditolerir. Para pelakunya bagaimanapun harus ditangkap dan diadili. Kendati demikian, penulis melihat bahwa pemberitaan media massa mengenai peristiwa tersebut sangat bersifat permukaan dan terhenti pada peristiwa itu sendiri. Dalam pemberitaan tersebut, orang-orang Tengger digambarkan sebagai masyarakat terbelakang, perusak hutan, dan penganut animisme. Kehadiran padepokan Den Bagus dianggap sebagai “Dewa Penolong” yang membawa Tengger ke kehidupan yang lebih baik.
Tanpa bermaksud membenarkan aksi pembakaran itu, tampak di sana ada problem yang lebih mendalam berkaitan dengan eksistensi masyarakat Tengger sebagai masyarakat adat (indigenous peoples). Sebagaimana umumnya masyarakat adat, orang-orang Tengger juga merupakan minoritas baik dari segi jumlah nominal penduduknya maupun dari segi kebudayaannya. Mereka juga tidak memiliki akses kekuasaan maupun informasi yang baik. Karena itu mereka tidak kuasa untuk membela diri maupun untuk merepresentasikan diri mereka sendiri ke dunia luar. Kehidupan mereka pada dasarnya selalu di bawah ancaman kalangan mayoritas: mayoritas budaya, ekonomi, politik maupun agama.
Stereotip media terhadap orang-orang Tengger sebagai terbelakang, perusak hutan, dan penganut animisme, yang menyertai pemberitaan kasus pembakaran mushala itu, benar-benar berangkat dari perspektif ‘pembangunan’.  Perspektif ini ingin membawa masyarakat kepada suatu pola kemajuan dan kebudayaan tunggal yang dikonstruksi dan berdasar selera mayoritas. Perspektif ini jelas berlawanan dengan gagasan multikulturalisme yang menghormati dan membela hak-hak komunitarian, termasuk dan terutama, hak masyarakat adat untuk hidup sesuai dengan kebudayaannya.
Studi ini ingin menelusuri bagaimana citra masyarakat Tengger ditampilkan ke dunia luar. Pembacaan terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den Bagus ini menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana perspektif modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang masyarakat Tengger.  Pembacaan pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan bagaimana praktik-praktik pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas (budaya maupun agama) telah mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan tidak mungkin, di masa depan akan menghancurkan.

II. Metode
Kajian ini akan menggunakan metode analisis tekstual. Analisis ini digunakan karena memungkinkan peneliti untuk melakukan pengamatan yang lebih mendalam dari teks dan mendapatkan intepretasi komprehensif mengenai bagaimana media memahami dan mengolah informasi berkait dengan Tengger sebagai sebuah indogenous community dan menyampaikan kepada khalayaknya.
Dalam hal ini yang secara khusus dimaksud dengan teks adalah berita dalam Tempo.com, portal berita online yang dimiliki oleh Grup Tempo. Penulis mengambil berita dari portal Tempo ini, sebab berita yang ditulis oleh situs ini menjadi rujukan sebagian besar portal-portal berita lain.

III.1 Masyarakat Tengger sebagai Indigenous Peoples
Istilah “indigenous” memiliki banyak pengertian. Sebagian akademisi memiliki istilah lain seperti ‘first nation populations’ (penduduk bangsa awal) dan atau ‘founding populations’ (penduduk perintis). Ketiga istilah di atas menunjuk pada adanya penduduk yang asli, mendiami suatu kawasan pertama kali, dan menjadi perintis dari berkembangnya kawasan tersebut. Tetapi istilah ini belum menunjukkan apa-apa dan pentingnya perhatian dan kebijakan secara politik kepada mereka yang disebut sebagai indigenous peoples tersebut, kecuali bahwa mereka memiliki peran secara historis. Selain itu istilah ‘asli’, ‘pribumi’, ‘pertama’, dan atau ‘pendiri’ juga sering dipersoalkan karena sifat esensialisnya dan mengabaikan begitu saja penduduk pendatang yang telah berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun datang, bahkan sebelum negara-bangsa yang menaungi mereka kini berdiri.[1]
Istilah ini menjadi penting ketika dihubungkan dengan status mereka yang minoritas dari segi jumlah, kekuasaan politik, agama, dan budaya, dan karena itu rentan diskriminasi. Mantan Special Reporter PBB untuk Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Jose Martines Cobo, memberikan batasan indigenous peoples sebagai berikut:
“Indigenous communities, peoples and nations are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct from other sectors of the societies now prevailing on those territories, or parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal system.”[2]

Meski tidak ada sebutan ‘minoritas’ di atas, jelas sekali dari definisi itu karakter dari indigenous peoples yakni sebagai suatu kelompok yang non-dominan dan berbeda dari masyarakat umumnya yang berdiam di suatu wilayah, dan berjuang untuk mempertahankan wilayah dan identitas budaya kepada generasi penerus mereka.
 ‘Indigenous peoples’menjadi isu penting berkaitan dengan modernisasi dan pembangunan. Kritik diarahkan karena banyak pembangunan  yang mengabaikan hak-hak dan keberadaan IP (indigenous peoples) ini. Akhirnya lembaga dana seperti World Bank, IFC, dan ADB mengeluarkan kebijakan yang mensyaratkan pembangunan apapun untuk memperhatikan hak-hak IP menyangkut: 1). Pengakuan kebudayaan dan hak-hak tradisional mereka. Setiap proyek harus memahami pentingnya budaya lokal dan hak-hak tradisional di mana proyek itu berada, 2). Mengakui situs-situs budaya yang mereka miliki, dan 3) memberikan kompensasi. Untuk kepentingan di atas, ketiga lembaga dana itu juga menerapkan definisi dan batasan mengenai IP.

Tabel I: Batasan IP menurut World Bank, IFC, dan ADB
IFC
ADB
World Bank
Self-identification as member of a distinct indigenous cultural group and recognize this identity by others;

Descent from population groups present in a given area, most often before modern states or territories were created and before modern borders were defined
Self-identification as members of a distinct indigenous cultural group and recognition of this identity by others;
Collective attachment to geographically distinct habitats or ancestral territories in the project area and to the natural resources in these habitats or territories;

Maintenance of cultural and social identities and social, economic, cultural, and political institutions separate from mainstream or dominate societies and cultures.
Collective attachment to geographically distinct habitats or ancestral territories in the project area and to the natural resources in these habitats and territories  
Customary culture economic, social and political institutions that are separated from those of the dominant society or culture.
Additional characteristics often ascribed to indigenous peoples include:
Customary cultural, economic, social, or political institutions that are separate from those of the dominant society and culture; and
An indigenous language often different than the official language of the country or region
Self- identification and identification by others as being part of a distinct indigenous cultural group, and the display of desire to preserve that cultural identity
An indigenous language, of-ten different from the official language of the county-try or region.

A linguistic identity different from that of the dominant society,


Social, cultural, economic, and political traditions and institutions distinct from the dominant culture,


Economic systems oriented more toward traditional systems of production than mainstream systems,


Unique ties and attachments to traditional habitats and ancestral territories and natural resources in these habitats and territories


Di Indonesia, kalangan aktivis dan akademisi menerjemahkan IP dengan beragam cara. Ada yang menyebutnya ‘masyarakat pribumi asli’ dan ada yang mengistilahkannya ‘masyarakat terasing.’ Pemerintah sendiri melalui Departemen Sosial memiliki batasan sendiri mengenai IP ini, dengan menyebutnya sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT didefinisikan sebagai “...kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik”[3]Kriteria KAT sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 111 1999 di atas mencakup 7 (tujuh) unsur dari 7 (tujuh) criteria: yakni:

Tabel I: Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT)
No Unsur Uraian
1. Jumlah komunitas kecil, terjangkau oleh hubungan antar personal
2. Keragaman suku homogen, menurut garis keturunan sesuku
3. Sikap thd perubahan Relatif tertutup
4. Letak geografi Umumnya terpencil dan relatif sulit terjangkau
5. Teknologi Sederhana, tp fungsional bahan dan manfaat sesuai dgn kebutuhan setempat
6. Kehidupan sosial Bertumpu pada sistem kekerabatan
7. Ketergantungan pd sumber daya hidup dan alam Relatif tinggi
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebuah konsorsium yang menghimpun kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia, memiliki konsep 'Indigenous Peoples' yang mereka terjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai masyarakat adat dengan pengertian sebagai
“... a group of people who based on ancestral origin, live in a specific geographical area, have a distinct value and socio-cultural system, sovereignty over their land and natural resources and control and take care of their survival by means of customary laws and institutions.
Indigenous peoples, menurut mereka, bisa diidentifikasi dengan criteria berikut ini:
·      A group of people sharing the same cultural identities Indigenous peoples have distinct characteristics in terms of language, spiritual values, norms, attitudes and behaviors that distinguish one social group from another
·      Living area Includes land, forests, sea and other resources, which cover not only goods but also religious and sociocultural system
·      Knowledge systems Also called “traditional wisdom” or “ local wisdom”, which is not only preserved but enriched/developed in line with the needs of indigenous peoples to sustain their existence
·      A common regulation and governance system Includes customary laws and institutions to regulate and govern themselves.[4]

Berbeda dengan 'Komunitas Adat Terpencil' menurut Departemen Sosial, AMAN menekankan advokasi dan pemberdayaan pada mereka yang disebut sebagai 'masyarakat adat' tersebut, dengan menekankan hak asasi dan hak sosial budaya mereka. Dalam hal ini, kadang mereka berbeda dengan Departemen Sosial yang cenderung memandang masyarakat adat sebagai 'terbelakang' secara budaya atau dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mendudukkan masyarakat adat sebagai entitas yang unik dan eksotik untuk kepentingan pariwisata.
. Definisi AMAN mengenai 'indigenous peoples' yang dalam bahasa Indonesia mereka sebut 'masyarakat adat', menurut pandangan kami, lebih dekat dengan definisi yang dipakai di kalangan internasional, termasuk dengan World Bank, ADAB atau pun IFC.
Kendati demikian, definisi apapun yang akan kita pergunakan, masyarakat Tengger dengan segala karakteristiknya bisa disebut sebagai IP. Predikat IP pantas disandang komunitas ini karena mereka memiliki semua prasyarat sebagai IP. Pertama, dari segi kawasan tempat mereka tinggal yang relatif terpencil, jauh dari perkotaan dan tetap setia dengan lingkungan pegunungan, yang telah menjadi wilayah turun-temurun mereka. Kedua, dari segi jumlah penduduk, jumlah nominal mereka terhitung sangat kecil sekali dibanding misalnya masyarakat Suku Jawa yang berdiam mengelilingi mereka. Ketiga, dari segi kebudayaan dan agama, mereka sama sekali bukan bagian dari mayoritas. Keempat, mereka tak memiliki akses kekuasaan yang besar dan kuat, dan kelima, mereka masih setia dengan pola ekonomi tradisional.
Sebagai masyarakat suku yang kecil dan terpencil, kehidupan kebudayaan mereka juga berada di bawah ancaman pengaruh kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang lebih besar dan dominan, baik ancaman itu bersifat langsung maupun tidak langsung. Langsung dalam arti penduduk yang berbeda kebudayaan mereka datang langsung ke tengah kehidupan mereka dengan memperkenalkan kebiasaan-kebiasaaan baru, baik yang berbasis agama maupun kebiasaan masyarakat luar lainnya.

III. 2. Pengagamaan dan Pembangunan di Tengger
Penduduk Tengger dikenal sebagai penganut kepercayaan Brahma, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya patung-patung pemujaan terhadap Brahma. Penduduk ini terdesak ke pegunungan Bromo ketika pengaruh Islam meluas pada abad ke-15. Orang-orang Hindu Brahma ini kemudian menyebut diri mereka sebagai tiang Tengger.

Pada abad ke-16, para pemuja Brahma di Tengger ini kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi. Akhirnya orang-orang yang semula beragama Brahma ini beralih ke agama orang Parsi, yaitu “Hindu Parsi.” Ini tampak dari system kepercayaan mereka yang masih ada unsure pemujaan terhadap matahari, bulan, dan bintang-bintang sebagai pengendali dari keempat unsure utama, yaitu api, air, udara, dan tanah.[5]

Kenyataan spiritual ini membuat identitas keagamaan mereka dianggap ‘kabur’. Di satu sisi, ke-Hindu-an mereka memang berbeda dalam beberapa hal dengan Hindu umumnya seperti di Bali, dan di sisi lain, ada yang menganggap mereka masih menganut kepercayaan dinamisme dan animisme. Dalam konteks ‘politik keagamaan’ Orde Baru, ‘ketidakjelasan’ identitas itu membuat mereka dianggap ‘tidak memiliki agama’ dan karena itu boleh untuk ‘diagamakan.’ Penting dicatat bahwa kala itu, dan hingga sekarang pun masih tersisa, agama yang diakui hanya 5: Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam.
Demikianlah, dalam suatu periode yang panjang, orang-orang Tengger menjadi sasaran pengagamaan. Sekadar menyebut contoh. Pada awal 1970-an, mereka yang sebelumnya merasa lebih dekat ke agama Hindu, ‘dipaksa’ untuk berubah agama dan harus memilih satu dari lima agama yang resmi. Melalui Parisada Jawa Timur, orang Tengger kemudian dikategorikan sebagai pemeluk agama Budha Mahayana, dengan Surat Keputusan No. 00/PHB Jatim/Kept/III/1973, tanggal 6 Maret 1973. Padahal, seperti ditunjukkan dalam hasil penelitian Ayu Sutarto, dilihat dari pribadatannya, orang Tengger tidak menunjukkan sifat kebudhaan, kecuali kata hong yang digunakan sebagai pembuka dari setiap mantera.[6]Memang ada mereka menyebut diri sebagai orang buda, tetapi ini bukanlah Budha yang dikenal tersebut.
Tidak hanya Budha, Islam pun turut merambah ke sini. Dalam sejumlah risetnya mengenai masyarakat Tengger di akhir tahun 1980an dan awal 1990an, antropolog Robert W. Hefner, menunjukkan berlangsungnya proses Islamisasi di kawasan ini. Yang menarik, Islamisasi itu terjadi tidak langsung dari masyarakat Islam, tetapi melalui program-program pendidikan pemerintah. Program wajib belajar 6 tahun pemerintah, misalnya mengharuskan seluruh warga Negara untuk mengikuti dan menamatkan pendidikan setidaknya sekolah dasar, tak terkecuali dalam hal ini masyarakat Tengger.  Dalam program sekolah ini kemudian muncul keharusan untuk mengikuti pelajaran agama. Anak-anak masyarakat Tengger, yang tidak merasa memiliki agama yang resmi, atau tidak memiliki guru agama, akhirnya banyak yang memilih mengikuti pelajaran agama Islam. Melalui proses inilah secara tidak sengaja berlangsung Islamisasi.[7]
Selain itu, stigmatisasi sebagai masyarakat yang terpencil dan terbelakang, membuat orang-orang dan wilayah Tengger ini menjadi sasaran program modernisasi. Berbagai program untuk ‘mendidik’, ‘memajukan’, dan ‘memperadabkan’ masyarakat Tengger dilakukan, mulai bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, kependudukan, dan lain-lain. Seperti ditunjukkan Hefner di atas, dan juga dalam banyak kasus modernisasi dan pengagamaan di kalangan IP, agama dan pembangunan itu berjalan seiring. Mengagamakan berarti membangun. Membangun berarti mengagamakan.[8]
Sejarah di balik peristiwa pembakaran mushala padepokan Den Bagus dengan demikian menarik untuk diperhatikan. Berita itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa proses-proses pengagamaan dan pembangunan (modernisasi) terus berlangsung. Berita itu secara tidak langsung menunjukkan kini telah terdapat komunitas-komunitas Tengger yang telah memeluk Islam. Kedua, dakwah Islam berlangsung secara aktif, langsung dan sistematis di kalangan masyarakat Tengger, bukan lagi membonceng secara tidak sengaja program pemerintah sebagaimana dilaporkan oleh Hefner di atas.
Pembacaan terhadap pemberitaan yang luas akan peristiwa pembakaran mushala Den Bagus menjadi menarik karena ia menunjukkan bagaimana dan sejauh apa dakwah Islam itu telah berlangsung, serta yang lebih penting lagi bagaimana masyarakat Tengger dikonstruksi sehingga kehadiran Islam menjadi benar dan tepat adanya melalui konstruksi ‘keterbelakangan’ dan ‘ketidakberagamaan’ mereka dan pentingnya pengagamaan sekaligus modernisasi. Atau modernisasi sekaligus pengagamaan.


IV. Representasi Masyarakat Tengger Oleh Media
Apa yang dikatakan oleh Heffner tentang penmbangunan dan pengagamaan, ternyata terrcermin secara jelas pada pemberitaan media massa terhadap peristiwa pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus. Seperti yang diungkap oleh McQuails dalam bukunya Mass Communication Theory (2004), media massa memiliki kemampuan unutk menyaring sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang menghalangi kebenaran.
Maka, makna suatu peristiwa, dalam hal ini pembakaran musholla milik Padepokan Den Bagus, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa, sebenarnya suatu konstruksi makna yang temporer dan subyektif. Apa yang dituliskan menjadi berita tentu bukanlah mewakili realitas yang sebenarnya. Proses selektivfitas –mulai dari selektif terhadap peristiwa hingga selektivfitas makna- yang dilakukan oleh jurnalis dan editor, disadari atau tidak berperan dalam menghasilkan judul berita, pemilihan katagori, pemilihan labelling; pemilihan narasumber dan kutipan narasumber, pemilihan foto, dan lain sebagainya.
Banyak informasi dalam sebuah wacana (berita) itu tidak nampak secara eksplisit, namun implisit. Kata, katagorisasi, klausa, metafor-metafor, bisa jadi mengisyaratkan konsep atau proposisi-proposisi yang dapat diduga berdasarkan frame of references dan field of experiences. Tentu apabila kita berbicara tentang dua hal tersebut (references dan experiences) tak dapat kita lepaskan dari konteks budaya yang melingkupinya. Dengan kata lain, media menjadi cerminan dari cara pandang dan pola pikir masyarakat. Bagaimana media membentuk identitas masyarkat Tengger, maka seperti itu pula lah masyarakat atau kelompok dominan menilai masyarakat Tengger. Representasi media terhadap Tengger dipengaruhi oleh masyarakat, tetapi pada saat yang bersamaan apa yang disajikan oleh media juga menjadi references masyarakat terhadap orang-orang Tengger.
Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap teks berita yang berjudul “Aksi Pembakaran Permukiman Warga Tengger Terus Terjadi”, tampak bahwa media memberikan gambaran masyarakat Tengger sebagai kelompok indigenous yang terbelakang, lemah secara politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini tampak dalam paragraf-paragraf berita sebagai berikut

Warga Tengger tersebut telah turun-temurun menggantungkan hidup dengan cara berladang di hutan. Mereka hidup berpindah-pindah.(Par. 7)

Tempo dan sejumlah wartawan dari berbagai media yang meninjau tempat kejadian menjumpai warga yang tampak pasrah menyaksikan pondoknya yang telah hangus dimakan api. ”Kami di sini hanya mencari makan dengan menanam jagung, ketela pohon,” ujar Alas, salah seorang warga dengan usia di atas 60 tahun itu. Gurat kesedihan sangat tampak dari raut wajahnya yang sudah menua itu.(Par. 6)

Pada paragraf enam, Tempo memilih untuk menampilkan Alas, seorang warga Tengger yang telah berumur 60 tahun. Metafora yang digunakan seolah mengajak pembaca untuk membayangkan wajah renta Alas dan warga Tengger lainnya, kepasrahan mereka melihat amuk api melalap rumah tinggal dan ladang pencaharian mereka.
Tidak ada persoalan ketika media merepresentasikan Tengger sebagai masyarakat yang bertanam jagung dan ketela, sebab memang demikian adanya. Namun, yang mejadi persoalan adalah ketika kebiasaan “makan jagung” dan “menanam ketela” dianggap sebagai suatu hal yang identik dengan kemiskinan. Media secara sengaja atau tidak sengaja telah terjebak pada  standar kemiskinan yang ada di budaya dominan.
Hal serupa tercermin dalam paragraph 7, di mana masyarakat Tengger digambarkan menggantungkan hidup dengan cara berladang di hutan. Di hutan milik siapa? Apakah yang dimaksud hutan milik pemerintah? Tidak dijelaskan di situ. Tetapi yang jelas, hutan bukan untuk berladang secara bebas, meski masyarakat Tengger pada dasarnya pewaris sebenarnya dari hutan tersebut karena mereka telah berdiam di situ turun-temurun. Sistem kehidupan modern telah menyingkirkan mereka dari mengakses tanah leluhur mereka secara bebas. Hal ini dikuatkan dengan gambaran ‘hidup mereka yang berpindah-pindah.”  Gambaran masyarakat yang tidak beradab memancar dari deskripsi ini.
            “Kemiskinan” dan “ketakberdayaan” masyarakat Tengger itu pula lah yang kemudian mengundang simpati banyak pihak dari kelompok masyarakat yang modern dan “lebih maju”. Salah satu pahlawan yang hadir adalah Achmad Nur Huda atau Gus Mamak. LSM yang ia dirikan dan diberi nama Padepokan Den Bagus,menjadi sebuah harapan baru bagi masyarakat Tengger untuk memulai kehidupan yang “lebih beradab”.

Setelah cukup lama melakukan pendekatan terhadap warga Tengger, sekitar dua tahun yang lalu, para aktivis Padepokan Den Bagus bergabung bersama warga untuk memberikan pendampingan. Mereka diajari cara bercocok tanam serta--ini yang penting--memberikan pengetahuan kepada warga untuk tidak merusak hutan. Mereka pun diberikan wawasan tentang budaya.(Par. 8)

Keberadaan warga Tengger di bawah pembinaan Padepokan Den Bagus telah mendapat perhatian berbagai kalangan. Mereka kerap dikunjungi sejumlah mahasiswa, di antaranya dari Sekolah Tinggi Agama Islam Jawa Timur. Demikian juga Badan Amil Zakat Kabupaten Lumajang dan Provinsi Jawa Timur untuk memberikan bantuan. (Par. 11)

Akhirnya ‘kita’ –para pembaca—sampai pada penggambaran mengapa kelompok seperti Padepokan Den Bagus pantas dan layak untuk hadir di tengah-tengah masyarakat Tengger ini. Karena kelompok ini mengajari mereka “…cara bercocok tanam sertamemberikan pengetahuan kepada warga untuk tidak merusak hutan. Mereka pun diberikan wawasan tentang budaya. Tiga hal langsung tampak di sini. Masyarakat Tengger yang telah berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun memiliki tradisi Budaya bercocok tanam, seperti tidak dianggap sekali atau dipandang menjalankan tradisi bercocok tanam yang keliru. Kedua, mereka adalah para perusak hutan, karena itu harus diajar bagaimana tidak merusak hutan. Benar mungkin mereka ada yang menebang pohon, tetapi peralatan tradisional yang mereka miliki dan kebutuhan terbatas mereka, tidak akan sampai pada akibat “merusak hutan”. Jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan kayu, yang dengan teknologi penebangan yang canggih dan kebutuhan memenuhi pasar kapitalisme, bisa membuat gundul sebuah bukit dalam beberapa hari. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya, karena itu perlu diajarkan wawasan budaya. Sistem kepercayaan tradisional mereka, yang mengajarkan kejujuran, kebenaran, penghormatan pada orang lain, kesediaan berbagi dengan sesame, dan lain-lain, seperti tidak dianggap ada di sini.  dengan berpindah-pindah dianggap sebagai kegiatan yang bersifar destruktif. Representasi masyarakat Tengger sebagai kelompok perusak hutan akibat ketidaktahuan mereka tentang tekhnologi bercocok tanam yang modern. Dan, mereka yang telah menjadi pengikut kelompok Den Bagus adalah warga Tengger yang “lebih baik” sebab mereka menjadi pengadopsi inovasi (early adopter).

Secara perlahan-lahan, dari sekitar 200 kepala keluarga (KK), sudah 25 KK (sekitar 125 jiwa) yang bersedia bergabung dengan Padepokan Den Bagus. Mereka tidak lagi berladang secara berpindah-pindah, melainkan bermukim di suatu tempat. (Par. 9)

Dalam pemberitaan, peneliti memaknai bahwa media merepresentasikan Tengger sebagai penganut Islam semata, ini tampak dalam kalimat yang tertulis dalam paragraf dua. Labelling atau penyebutan “satu-satunya tempat ibadah” seolah menafikkan adanya tempat ibadah lain di Tengger.

Perusakan dan pembakaran yang berlangsung sejak Sabtu, 8 Oktober 2011, telah melumatkan puluhan pondok warga serta sebuah musala. Satu-satunya tempat ibadah berukuran sekitar 64 meter persegi yang terbuat dari kayu dan bambu itu rata dengan tanah dan hanya tersisa puing-puing yang berserakan. (Par. 2)


Balai pertemuan yang disebut Padepokan Den Bagus itu didirikan dua tahun lalu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Padepokan Den Bagus pimpinan Achmad Nur Huda yang biasa disapa Gus Mamak. “Aksi perusakan dan pembakaran itu sungguh biadab, tidak berperikemanusiaan,” kata Gus Mamak kepada Tempo, Minggu siang, 16 Oktober 2011.(Par. 4)

Pada saat dilakukan pembakaran musala, para pelaku tidak mempedulikan sejumlah kitab suci Al-Quran yang juga ikut dilumat api. (Par. 5)


V. Kesimpulan
Indigenous atau kelompok adat merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan.
Dalam pemberitaan Tempo tanggal 16 Oktober 2011 lalu berjudul “Aksi Pembakaran Warga Tengger Terus Terjadi” tampak stereotip media terhadap orang-orang Tengger sebagai terbelakang, perusak hutan, tidak berbudaya, dan lemah dari sisi ekonomi dan budaya benar-benar berangkat dari perspektif ‘pembangunan’.  Perspektif ini ingin membawa masyarakat kepada suatu pola kemajuan dan kebudayaan tunggal yang dikonstruksi dan berdasar selera mayoritas.
Perspektif ini jelas berlawanan dengan gagasan multikulturalisme yang menghormati dan membela hak-hak komunitarian, termasuk dan terutama, hak masyarakat adat untuk hidup sesuai dengan kebudayaannya.
Pembacaan terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den Bagus ini menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana perspektif modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang masyarakat Tengger.  Pembacaan pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan bagaimana praktik-praktik pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas (budaya maupun agama) telah mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan tidak mungkin, di masa depan akan menghancurkan.

Daftar Pustaka

Bill Ashroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts, Routledge, 2000. 
Hefner, Robert W, Hindu Javanese Tengger: Tengger Tradition and Islam, Princenton, Princenton University, 1985.
----------------------, Geger Tengger: Perkelahian Sosial dan Perkelahian Politik, Yogyakarta, LKiS, 1999.
----------------------, “Mengislamkan Jawa? Agama dan Politik di Pedesaan Jawa Timur,” dalam Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, LKIS, 2000.
Sumartana, Th. (ed.), Kisah dari Kampung Halaman: Agama, Masyarakat Suku, dan Pembangunan, Yogyakarta, Dian/Interfidei, 1997.
Suyono, Capt. R. P., Mistisisme Tengger, LKiS, Yogyakarta, 2009.
Sutarto, Ayu, “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi,  (1997).



[1] Bill Ashroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts, Routledge, 2000.
[2] http://indigenouspeoples.nl/indigenous-peoples/definition-indigenous.
[3] Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
[5]Lebih lengkap baca, Capt. R. P. Suyono, Mistisisme Tengger, LKiS, Yogyakarta, 2009.
[6] Ayu Sutarto, “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi,  (1997).
[7] Lih. Robert W. Hefner, “Mengislamkan Jawa? Agama dan Politik di Pedesaan Jawa Timur,” dalam Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, LKIS, 2000. Lihat juga karya Hefner (1985; 1999) yang lebih lengkap dan memperlihatkan dinamika historis masyarakat ini.
[8] Banyak sekali kajian mengenai hal ini. Lihat misalnya Th. Sumartana (ed.), Kisah dari Kampung Halaman: Agama, Masyarakat Suku, dan Pembangunan, Yogyakarta, Dian/Interfidei, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar