Oleh : Putri Aisyiyah Rachma Dewi,
M.Med.Kom dan Aulia
Abstrak
Dalam usaha pemberantasan korupsi,
peran media sangat signifikan, terutama dalam pengungkapan lebih lanjut
kasus-kasus korupsi dan penyadaran kepada masyarakat akan buruknya korupsi.
Korupsi jelas tidak mengenal jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan bisa
terlibat korupsi sejauh ada aksesnya dan juga tipisnya tanggung jawab dan
komitmen. Kendati demikian, karena sifat ideologisnya, media juga berperan
besar dalam pengkonstruksian apa, bagaimana, dan siapakah pelaku korupsi?
Riset ini menelaah bagaimana
koruptor perempuan diberitakan dalam media massa
di Indonesia ,
khususnya media online. Media online menjadi perhatian peneliti sebab
karakteristik informasi media online yang timeless, sehingga, bagaimana
cara mengemas berita dan alur cerita yang disusun dari awal pemberitaan hingga
berita terbaru menjadi rujukan publik dalam memahami kasus korupsi.
Melalui ‘analisis bingkai media’
terungkap citra perempuan koruptor ditampilkan dan apa bedanya secara umum
dengan koruptor laki-laki. Analisis bingkai ini juga diperkaya dengan sebuah perspektif
yang tepat untuk tujuan riset ini sendiri, yaitu perspektif gender. Koruptor
yang diangkat dalam penelitian ini adalah Malinda Dee dalam kasus penggelapan
uang nasabah Citibank, Angelina Sondakh dalam kasus Wisma Atlet, dan Nunun
Nurbaeti dalam cek pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Bingkai maskulin yang digunakan oleh
media kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi, sebab ketika koruptor
berjenis kelamin perempuan, media kemudian tidak lagi membahas substansi
masalah tetapi berfokus pada sosok keperempuannya saja. Yang dilupakan oleh
media bahwa korupsi adalah tindakan sistematis yang lebih kompleks daripada
sekadar persoalan gaya
hidup perempuan koruptor belaka.
I.Latar Belakang
Dalam satu dekade terakhir ini,
pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari amanat reformasi semakin gencar
dilakukan. Berita tentang perburuan, penangkapan, penyidikan, dan pengadilan
para koruptor hampir setiap hari bisa kita baca dan saksikan di media massa , baik cetak,
elektronik maupun maya. Keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi bisa
ditelusuri dari bagaimana intensitas media memberitakannya atau sebaliknya
intensitas pemberitaan media mengenai korupsi tersebut telah menunjukkan
bagaimana seriusnya pemerintah hendak memberantas korupsi.
Dalam usaha untuk memberantas korupsi
tersebut, peran media sangat besar sekali, terutama melalui peran penyampaian
informasi dan pengawasannya (Charles Wright 1987). Melalui fungsi
pengawasannya, media melakukan investigasi yang hasilnya semakin mendorong
pengungkapan lebih lanjut kasus-kasus korupsi dan penyadaran kepada masyarakat
akan buruknya korupsi.[1]
Peran media dalam mempersoalkan dan
melakukan investigasi terhadap korupsi memang merupakan bagian dari peran
demokratisasi yang dijalankannya. Pada waktu rezim otoritarian, peran ini tidak
bisa dimainkannya secara maksimal karena pengungkapan korupsi yang
dilakukan pejabat pemerintah bisa dianggap sebagai tindak merongrong negara.
Kini sudah jelas bahwa salah satu prasyarakat demokrasi adalah diterapkannya
prinsip transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan. Pada konteks ini, media
memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi mengenai kasus korupsi dan
segala perkembangannya. Sementara dari sisi lain, masyarakat mempunyai hak
untuk memperoleh informasi mengenai korupsi dan berbagai penanganannya.
Tetapi hal ini tidak bisa dipenuhi dengan
baik. Media tidak selalu bersifat netral. Karena kepentingan-kepentingan
ekonomi politiknya, ia juga turut berperan dalam pereduksian berita. Terutama
juga karena sifat ideologisnya, ia berperan besar dalam pengkonstruksian apa
dan bagaimana korupsi tersebut, serta siapa pelaku koruptur tersebut. Hal ini
terutama tampak dalam pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan seorang atau
lebih perempuan. Korupsi jelas tidak mengenal jenis kelamin. Laki-laki maupun
perempuan bisa terlibat korupsi sejauh ada aksesnya dan juga tipisnya tanggung
jawab dan komitmen. Kendati demikian di dalam pemberitaan terdapat bias gender
antara koruptor laki-laki dan koruptor perempuan.
Sementara dari sisi masyarakat, kesadaran
akan adanya koruptor perempuan sangat kurang sekali. Sebagian hal ini bisa
dilacak dari adanya pandangan esensialis yang menganggap korupsi sebagai
tindakan maskulin. Di sisi lain, pemberitaan-pemberitaan media yang bertumpu
pada tubuh dan gaya
hidup koruptor perempuan, membuat substansi korupsi itu sendiri menjadi kabur.
Dalam konteks ini, penting untuk melakukan
‘analisis bingkai media’ (framing analysis) terhadap pemberitaan
koruptor perempuan ini untuk menelusuri lebih luas dan mendalam bagaimana citra
seorang koruptor perempuan ditampilkan dan apa bedanya secara umum dengan
koruptor laki-laki. Yang lebih penting lagi, apa dampak dari pemberitaan yang
cenderung bias gender ini.
Analisis ini pada dasarnya hanyalah metode
teknis untuk menelusuri isi-isi berita tersebut. Metode ini lebih banyak
bersifat obyektif dan linear, karena itu agar sarana ini bisa fokus dan
tajam, kerangka ini juga diperkaya dengan sebuah perspektif yang tepat untuk
tujuan riset ini sendiri, yaitu perspektif gender. Tetapi “berbeda” dengan
penelitian yang menggunakan perspektif gender lainnya yang cenderung ditujukan
untuk pemberdayaan perempuan (women empowerement), riset ini dimaksudkan
justru untuk melakukan penyadaran kepada media (enlightment) tentang pentingnya
bersikap kritis dan tidak bias gender dalam meliput berita-berita perempuan.
II. Metode
Pertanyaan yang hendak dijawab oleh riset
ini adalah bagaimana pemberitaan koruptor perempuan? Dan yang paling penting
adalah apakah dampak dari pemberitaan ‘yang berbeda’ tersebut?
Untuk menjawab pertanyan di atas, akan
diteliti 3 (tiga) koruptor perempuan yang berada di ranah nasional, yaitu
Malinda Dee dalam kasus penggelapan uang nasabah Citibank, Angelina Sondakh
dalam kasus Wisma Atlet, dan Nunun Nurbaeti dalam cek pemilihan Gubernur Bank
Indonesia. Ketiganya juga dipilih karena secara resmi sudah berstatus sebagai
tersangka, meski kadang pemberitaan yang diambil bisa saja ditulis jauh sebelum
ketiganya menjadi tersangka.
Sebagai bahan utama riset ini adalah salah
satu jenis media, yaitu media online, dengan alasan media ini bersifat nirwaktu
(timeless). Ia tak mengenal kadaluarsa,tetap bisa dibaca meski sudah
ditayangkan beberapa bulan lalu ataupun hendak ditengok beberapa bulan
mendatang, selama situs berita yang memuatnya masih beroperasi.
Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis bingkai media (framing analysis) dengan
menggunakan perangkat framing milik William A.Gamson & Modigliani. Analisis
framing digunakan untuk mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan
fakta di dalam berita, sehingga membuat berita lebih dimengerti dan diingat,
untuk menggiring persepsi khalayak sesuai dengan perspektifnya.
Berita yang digunakan sebagai subyek
penelitian dipilih dengan menggunakan search engine google.com dan kata kunci yang
digunakan adalah “berita kasus korupsi (nama koruptor)”. Lima berita teratas dari portal berita adalah
berita yang dipilih oleh peneliti, dan kemudian dianalisis.
II. Korupsi, Perempuan dan Media
Korupsi memiliki banyak pengertian.
Sosiolog korupsi Syeh Hussein
Alatas (1986) menyebutkan benang merah yang mendasari aktivitas korupsi, yaitu
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasian, pengkhianatan, penipuan dan ketidakpedulian yang luar biasa
akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Definisi lain dari korupsi
yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public
office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas,
definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Sedangkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20
th.2001, Pasal 2, merumuskan korupsi sebagai:
1. perbuatan melawan hukum
2. dengan maksud memperkaya diri sendiri
atau orang lain
3. ‘dapat’ merugikan keuangan atau
perekonomian negara
‘Secara melawan hukum’ artinya suatu
perbuatan dapat dipidana, jika:
1. ada aturannya dalam Undang-undang (hukum
formil), atau
2. tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma kehidupan masyarakat (hukum materiil).
Kata ‘dapat’ merugikan keuangan atau
perekonomian negara artinya: tindak pidana korupsi dianggap ada tidak hanya
ketika kerugian negara telah terjadi, tapi juga ketika unsur-unsur perbuatan
korupsi telah terpenuhi.
Ketiga definisi korupsi di atas, menurut
penulis, telah sangat mewakili. Pada intinya, korupsi merupakan ‘penyalahgunaan
kekuasaan public demi kepentingan pribadi.’ Di Indonesia, kata korupsi sering
dipasangkan dengan kata ‘kolusi dan nepotisme’. Pada dasarnya, kedua kata ini
adalah bagian dari bentuk korupsi.
Di Indonesia, korupsi memiliki akar yang
dalam dan praktik yang luas. Praktik korupsi telah masuk ke berbagai tingkatan
di pemerintahan, melibatkan berbagai kalangan, dan membentuk jaringan yang
luas.
Dari segi jenis kelamin, bagaimanapun juga
kenyataan menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang terlibat korupsi di Indonesia jauh
lebih sedikit dari pada laki-laki. Dalam sebuah esainya, Neta S. Pane
menyebutkan bahwa pada tahun 2008, dari 22 koruptor hanya dua perempuan yang
terlibat.[2] Meski dalam tiga
tahun terakhir, jumlah koruptor perempuan bertambah, tetapi diyakini tetap
tidak lebih besar dari jumlah koruptor laki-laki.
Apakah jumlah yang sedikit itu karena
alasan esensialis atau praktis, yakni memang terbatasnya perempuan yang duduk
di lembaga-lembaga publik, hal ini tidaklah penting. Yang penting adalah di
dalam pemberitaan media , koruptor perempuan terasa lebih banyak dan besar
jumlahnya dibanding laki-laki, karena lebih gencar dan massifnya pemberitaan
tersebut. Selain itu, berbeda dengan laki-laki, pemberitaan mengenai koruptor
perempuan dibumbui dengan beragam pernik di luar masalah korupsi itu sendiri.
Dalam memberitakan koruptor perempuan, ada
kesan fungsi media sebagai pembawa informasi dan sekaligus pengawasan menjadi
tidak berlaku. Yang disampaikan adalah gosip dan pernik kehidupan para koruptor
perempuan itu, dan bukan masalah korupsinya itu sendiri.[3]
Salah satu fenomena dalam kasus
pemberantasan korupsi di Indonesia pada akhir tahun 2011 dan awal 2012 adalah
disangkanya dan bahkan ditangkapnya beberapa perempuan sebagai pelaku korupsi.
Beberapa perempuan itu adalah Malinda Dee, Angelina Sondakh, Nunung Nurbaiti,
dan beberapa nama lain, terutama di daerah-daerah.
Berita ini mengundang perhatian besar dan
membuat banyak kalangan masyarakat, laki-laki maupun perempuan, menjadi kaget
karena memandang korupsi sebagai tindakan maskulin. Kalangan pemikiran
feminisme ekologis misalnya menganggap bahwa laki-laki lebih korup daripada
perempuan. Alasannya, perempuan memiliki sifat merawat dan memelihara. Sifat
ini, yang tercermin terutama dalam fungsi reproduksi perempuan, dianggap tidak
sesuai dengan korupsi. Sebaliknya laki-laki, dipandang memiliki sifat untuk
menguasai, mendominasi, agresif, dan sifat-sifat lainnya yang cenderung
mendukung tindak korupsi.
Pandangan ini didukung beberapa survey.
Menurut Dollar et. al. (2011), ada sejumlah penelitian survey dan eksperimen
yang mengatakan bahwa perempuan cenderung tidak mementingkan diri sendiri dan
memiliki standar etika yang lebih tinggi daripada laki-laki. Berdasarkan pandangan
ini, maka menempatkan perempuan ke dalam lembaga-lembaga publik akan bisa
mengurangi korupsi. Pandangan ini memperoleh bukti di mana negara-negara dengan
tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dalam politik ternyata tingkat
korupsinya rendah. Sebaliknya Negara-negara dengan keterwakilan perempuan
rendah tingkat korupsinya tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa perusahaan
yang dimiliki laki-laki cenderung lebih suka menyuap dibandingkan dengan
perusahaan yang dimiliki dan dikelola perempuan. Hal yang sama, Negara yang
memiliki banyak politisi dan manajer perempuan cenderung lebih rendha
korupsinya.[4]
Tentu saja pandangan esensialis yang
memandang laki-laki lebih korup dari perempuan ini mendapatkan banyak kritik.
Diakui memang banyak laki-laki yang terlibat korupsi daripada perempuan, tetapi
terjadi karena memang juga laki-laki yang lebih banyak duduk di lembaga-lembaga
public disbanding perempuan. Jika perempuan lebih banyak, atau setidaknya,
seimbang tidak ada yang bisa menjamin perempuan lebih sedikit terlibat korupsi
daripada laki-laki.
Korupsi memang tidak mengenal jenis
kelamin. Ia bisa dilakukan laki-laki dan perempuan. Dalam rumusan ahli korupsi
Robert Klitgaard (2002), korupsi terjadi ketika ada monopoli plus kewenangan
tapi minus akuntabilitas (C= M + D – A). Dengan demikian, siapapun yang
memiliki monopoli plus kewenangan tapi tidak memiliki akuntabilitas, potensial
untuk melakukan tindak korupsi, apakah itu perempuan atau pun laki-laki.
III. Analisis dan Penyajian Data
III.a. Malinda Dee
Dalam kasus Malinda Dee, media membingkai
peristiwa ini secara seragam bahwa Malinda sebagai otak dan pelaku tunggal
korupsi. Adapun Berita dan media yang dimaksud adalah:
Frame
: Malinda sebagai otak dan pelaku tunggal korupsi Citibank
|
|||
No
|
Judul
|
Media
|
Tanggal
|
1
|
Si
Cantik Pembobol Bank: Malinda Bandingkan Tuntutannya Dengan Kasus Korupsi
|
Kompas.com
|
23
Feb 2012
|
2
|
Malinda
Heran Dituntut Lebih Tinggi Dari Koruptor
|
Liputan6.com
|
23
Feb 2012
|
3
|
Koruptor
Dituntut Lebih Ringan, Malinda Dee Protes
|
Tempo.com
|
23
Feb 2012
|
4
|
Pleidoi
Malinda Singgung Korupsi di Kementrian ESDM
|
Merdeka.com
|
23
Feb 2012
|
5
|
Malinda
Dee Akan Ajukan Kasasi
|
Metrotvnews.com
|
19
Juni 2012
|
Meskipun dari judul yang dibuat oleh
masing-masing media membahas mengenai proses sidang Malinda, akan tetapi
berita-berita tersebut memberikan sedikit latar persoalan yang menjerat
perempuan ini.
Dari uraian berita dan hubungan kausalitas
korupsi dana nasabah, tampak media membingkai penyebab Melinda korupsi karena gaya hidup high class
yang dijalani, kemudian dia punya suami artis yang jarak usianya dengan Malinda
lebih 24 tahun lebih muda . Berikut adalah contoh kutipan-kutipan depiction/labelling
yang diberikan oleh media dan berita yang ditemukan:
- Istri siri Andhika
Gumilang (23), pada paragraf sebelumnya disebutkan Inong Malinda Dee binti
Siswo Wiratmo (49)
- mantan Relationship
Manager Citigold
- mantan Relationship
Maneger Citibank
Perihal uraian bagaimana Malinda melakukan
korupsi kelima media diatas memiliki pendapat yang sama, bahwa Malinda
menggelapkan dana nasabah-nasabah kakapnya.
mantan RM Citibank ini bertanggung jawab atas transfer tanpa
izin nasabah sebanyak 117 kali transaksi. Transfer-transfer yang terdiri dari
64 transaksi tersebut dalam nominal rupiah bernilai total Rp 27.369.056.650,
dan 53 transaksi dalam nominal dollar AS bernilai total 2.082.427 dollar AS (Si Cantik Pembobol Bank: Malinda
Bandingkan Tuntutannya Dengan Kasus Korupsi).
Sementara untuk siapakah nasabah kakap yang dimaksud oleh
cari tidak terungkap, dan tidak ada sedikitpun pemberitaan yang menyinggung hal
tersebut.
Dari tambilan gambar (visual images),
gambar yang ditambilkan hampir sefragam, yaitu Malinda dengan baju-baju mewah
bahkan ketika menghadiri persidangan. Tampak bahwa media melihat Malinda
sebagai sosok sosialita yang sangat memperhatikan penampilan kapanpun dan
dimanapun. Diperkuat dengan judul “Si Cantik Pembobol Bank” dan kalimat di
dalam berita, “tutur Malinda yang tampil mengenakan kemeja putih”.
III.b. Nunun Nurbaeti
Frame
: Nunun, istri mantan Wakapolri yang melakukan korupsi
|
|||
No
|
Judul
|
Media
|
Tanggal
|
1
|
KPK
Periksa Nunun Untuk Miranda
|
Kompas.com
|
27
April 2012
|
2
|
Nunun
Nurbaeti Tidak Banding
|
Tribunnews.com
|
14
Mei 2012
|
3
|
Berkerudung
Puthih, Nunun Bacakan Pleidoi Kasus Cek Pelawat
|
Republika.com
|
30
April 2012
|
4
|
Kasus
Cek Pelawat: Nunun Nurbaeti Ingin Seperti Nabi Yusuf
|
Bisnis.com
|
2
Maret 2012
|
5
|
Hari
ini vonis Nunun Dibacakan
|
Tempo.com
|
9
Mei 2012
|
Frame yang
digunakan oleh media massa
dalam meliput kasus Nunun Nurbaeti hanya sebatas Nunun istri mantan Wakapolri
yang melakukan korupsi. Sosok Nunun sebagai istri, ibu rumah tangga lebih
dikedepankan. Hal ini tampak dari judul-judul yang digunakan yang menggunakan
kata-kata pasif (tidak banding, dibacakan), kerudung putih, dan keinginan
“sederhana” ingin menjadi seperti Nabi Yusuf.
Lagi-lagi
pertanyaan tentang “why” atau mengapa Nunun melakukan korupsi tidak terungkap
dalam berita. Motif Nunun baik politis maupun motif-motif lain tidak
terungkap.dalam isi berita. Satu-satunya informasi yang disebut dengan jelas
dalam semua pemberitaan adalah Nunun, disebut sebagai istri dari mantan
Wakapolri
Selanjutnya,
bagaimana Nunun Melakukan: terdapat kerancuan. Info yang didapat adalah Nunun
membagikan cek perjalanan kepada anggota DPR yang memenangkan Miranda dalam
pemilihan Gubernur BI. Tetapi, terjadi kerancuan pemberitaan sebab dalam
beberapa berita yang disebutkan malah Miranda membantu Nunun.
III.c. Angelina Sondakh
Frame
: Mantan Putri
|
|||
No
|
Judul
|
Media
|
Tanggal
|
1
|
Kronologis
kasus korupsi Angelina Sondakh
|
Kapanlagi.com
|
29
Juni 2012
|
2
|
Angelina
Sondakh Tersangkut Kasus Korupsi Dua Kementrian
|
Tvonenews.tv
|
25
April 2012
|
3
|
Angelina
Sondakh Dicecar Pertanyaan Kasus Dugaan Korupsi 600 miliar
|
Sindikasi.net
|
4
Mei 2012
|
4
|
KPK
Periksa Kasus Korupsi Angelina Sondakh
|
Tempo.com
|
15
April 2012
|
5
|
Fotografer
Tribun Jadi Saksi Kasus Angelina Sondakh
|
Tribunnews.com
|
5
Juni 2012
|
Angelina Sondakh,
kader Partai Demokrat yang menjabat sebagai anggota Komisi III DPR sebenarnya
memiliki peran yang signifikan dalam mengatur proses alokasi dana yang kemudian
dikorupsi. Namun, ketika meliput persoalan trersebut peneliti melihat bahwa
media membangun bingkai dari ”Mantan Putri Indonesia yang melakukan tipikor”.
Tentu hal ini menjadi problem dan reduksi terjadi dengan tidak mengungkap lebih
jauh peran politik Angelina Sondakh.
Mengapa Angie
terlibat kasus korupsi, media tidak menyinggung motif Angie sama sekali,
semestinya dikaitkan dengan posisi Angie di demokrat dan karier politiknya.
Posisi Angie cukup vital dalam korupsi wisma Atlet, sebab Angie-lah kader
demokrat yang ada di komisi III yang menyetujui peruntukan anggaran. Tentu,
peran Angie dalam meyakinkan rekan2 komisi dan meloloskan pembangunan wisma
atlet menjadi hal yang krusial, namun ini tidak nampak dalam pemberitaan.
III.d. Pemberitaan Kasus Korupsi dengan
Pelaku Laki-laki
Analisis berita untuk dua koruptor
laki-laki yang diangkat sebagai pembanding dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa media massa
dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan detail kepada khalayak. Hal
ini ditunjukkan dengan:
1. Kasus
Nazaruddin, kompas.com bahkan memberikan bagan ilustrasi proses korupsi
tersebut dilakukan oleh Naz dan muara aliran dana tersebut
2. Kasus
Gayus pun lebih variatif dalam pemberitaan, setidaknya pertanyaan 5 W 1H lebih
terjawab
3. Siapakah
Gayus dan Nazaruddin, wewenang yang mereka miliki, jabatan politis yang
dipunyai terungkap dengan jelas dalam bingkai media. Dalam hal ini sangat
berbeda dengan koruptor perempuan.
IV. Penutup dan Kesimpulan
Dari hasil analisis media yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik beberapak kesimpulan, yaitu:
1.
Hampir
seluruh portal berita online menampilkan koruptor perempuan dalam
konteks keperempuananya. Malinda, sosialita yang korupsi karena memenuhi gaya hidup. Nunun, istri
Wakapolri yang hingga saat ini tidak terungkap motif korupsi dan kepentingan
politik...sehingga, seolah Nunun menjadi korban dalam konspirasi politik yang
lebih “serius” yang tidak mungkin dipahami oleh seorang ibu rumah tangga biasa
sepertinya. Angie, adalah putri Indonesia
yang memiliki hubungan cinta yang rumit dengan beberapa pria yang kemudian
terlibat kasus korupsi.
2.
Korupsi
adalah tindakan maskulin. Sehingga, jika koruptor laki-laki maka identitas
politik pelaku terungkap dengan jelas..sementara jika perempuan yang korupsi,
maka identitas politik mereka tersamarkan (tumpang tindih) dengan fashion, gaya hidup, dan
tubuh. lain yang ia miliki (sosialita, istri, putri/seleb)
3.
Portal
berita online gagal melakukan fungsi investigatif. Ini tampak pada
ketidaklengkapan informasi (5W1H) dalam berita-berita koruptor perempuan.
Peneliti memperkuat kesimpualan ini dengan melakukan coding terhadap dua
portal berita online terbesar, vivanews.com dan detiknews.com secara
menyeluruh. Informasi mengenai mengapa dan bagaimana tidak terjawab. Dalam
kelengkapan berita, unsur yang terlengkapi hanya apa, siapa, dimana, dan kapan
(What, Who, Where, When), sementara mengapa dan bagaimana (Why & How) tidak
banyak digali lebih mendalam oleh media-media dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Danang Widoyoko, Gender
dan Korupsi: Mencari Titik Temu antara Gerakan Anti-Korupsi dan Gerakan
Perempuan, Jurnal Perempuan, Februari 2012
Mariana Amiruddin, Dari
Payudara Melinda Dee, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Hingga Tas “Hermes” dan
Kerudung ‘Louis Vuitton’ Nunun, Jurnal Perempuan, Februari 2012
Masduki &
Bambang Muryanto, Jurnalisme Anti-Korupsi: Panduan untuk Jurnalis, AJI, Yogyakarta (t.t.)
Neta S. Pane, Perempuan
dan Korupsi, Kompas, 29 Juli 2011.
Robert Klitgaard, Membasmi
Korupsi, Yayasan Obor Indonesia ,
Jakarta , 2003
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi,
LP3ES, Jakarta ,
1986
Eriyanto, Analisis Framing, LKiS, Yogyakarta , 2002
[1] Lihat misalnya Masduki &
Bambang Muryanto, Jurnalisme Anti-Korupsi: Panduan untuk Jurnalis, AJI
(t.t.), sebuah panduan untuk jurnalis mengungkap kasus korupsi di mana
melakukan laporan investigasi menjadi kemampuan wajib dan utama.
[3] Lihat Mariana Amiruddin, “Dari
Payudara Melinda Dee, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Hingga Tas “Hermes” dan
Kerudung ‘Louis Vuitton’ Nunun,” Jurnal Perempuan, Februari 2012.
[4] Bagian-bagian ini diambil dari
Danang Widoyoko, “Gender dan Korupsi: Mencari Titik Temu antara Gerakan
Anti-Korupsi dan Gerakan Perempuan,” Jurnal Perempuan, Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar