Selasa, 11 September 2012

Reduksi Persoalan Korupsi oleh Media Massa dalam Perspektif Gender


Oleh : Putri Aisyiyah Rachma Dewi, M.Med.Kom dan  Aulia
 Abstrak
Dalam usaha pemberantasan korupsi, peran media sangat signifikan, terutama dalam pengungkapan lebih lanjut kasus-kasus korupsi dan penyadaran kepada masyarakat akan buruknya korupsi. Korupsi jelas tidak mengenal jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan bisa terlibat korupsi sejauh ada aksesnya dan juga tipisnya tanggung jawab dan komitmen. Kendati demikian, karena sifat ideologisnya, media juga berperan besar dalam pengkonstruksian apa, bagaimana, dan siapakah pelaku korupsi?
Riset ini menelaah bagaimana koruptor perempuan diberitakan dalam media massa di Indonesia, khususnya media online. Media online menjadi perhatian peneliti sebab karakteristik informasi media online yang timeless, sehingga, bagaimana cara mengemas berita dan alur cerita yang disusun dari awal pemberitaan hingga berita terbaru menjadi rujukan publik dalam memahami kasus korupsi.
Melalui ‘analisis bingkai media’ terungkap citra perempuan koruptor ditampilkan dan apa bedanya secara umum dengan koruptor laki-laki. Analisis bingkai ini juga diperkaya dengan sebuah perspektif yang tepat untuk tujuan riset ini sendiri, yaitu perspektif gender. Koruptor yang diangkat dalam penelitian ini adalah Malinda Dee dalam kasus penggelapan uang nasabah Citibank, Angelina Sondakh dalam kasus Wisma Atlet, dan Nunun Nurbaeti dalam cek pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Bingkai maskulin yang digunakan oleh media kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi, sebab ketika koruptor berjenis kelamin perempuan, media kemudian tidak lagi membahas substansi masalah tetapi berfokus pada sosok keperempuannya saja. Yang dilupakan oleh media bahwa korupsi adalah tindakan sistematis yang lebih kompleks daripada sekadar persoalan gaya hidup perempuan koruptor belaka.


I.Latar Belakang
Dalam satu dekade terakhir ini, pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari amanat reformasi semakin gencar dilakukan. Berita tentang perburuan, penangkapan, penyidikan, dan pengadilan para koruptor hampir setiap hari bisa kita baca dan saksikan di media massa, baik cetak, elektronik maupun maya. Keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi bisa ditelusuri dari bagaimana intensitas media memberitakannya atau sebaliknya intensitas pemberitaan media mengenai korupsi tersebut telah menunjukkan bagaimana seriusnya pemerintah hendak memberantas korupsi. 
Dalam usaha untuk memberantas korupsi tersebut, peran media sangat besar sekali, terutama melalui peran penyampaian informasi dan pengawasannya (Charles Wright 1987). Melalui fungsi pengawasannya, media melakukan investigasi yang hasilnya semakin mendorong pengungkapan lebih lanjut kasus-kasus korupsi dan penyadaran kepada masyarakat akan buruknya korupsi.[1]
Peran media dalam mempersoalkan dan melakukan investigasi  terhadap korupsi memang merupakan bagian dari peran demokratisasi yang dijalankannya. Pada waktu rezim otoritarian, peran ini tidak bisa dimainkannya secara maksimal karena pengungkapan korupsi  yang dilakukan pejabat pemerintah bisa dianggap sebagai tindak merongrong negara. Kini sudah jelas bahwa salah satu prasyarakat demokrasi adalah diterapkannya prinsip transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan. Pada konteks ini, media memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi mengenai kasus korupsi dan segala perkembangannya. Sementara dari sisi lain, masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai korupsi dan berbagai penanganannya.    
Tetapi hal ini tidak bisa dipenuhi dengan baik. Media tidak selalu bersifat netral. Karena kepentingan-kepentingan ekonomi politiknya, ia juga turut berperan dalam pereduksian berita. Terutama juga karena sifat ideologisnya, ia berperan besar dalam pengkonstruksian apa dan bagaimana korupsi tersebut, serta siapa pelaku koruptur tersebut. Hal ini terutama tampak dalam pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan seorang atau lebih perempuan. Korupsi jelas tidak mengenal jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan bisa terlibat korupsi sejauh ada aksesnya dan juga tipisnya tanggung jawab dan komitmen. Kendati demikian di dalam pemberitaan terdapat bias gender antara koruptor laki-laki dan koruptor perempuan.
Sementara dari sisi masyarakat, kesadaran akan adanya koruptor perempuan sangat kurang sekali. Sebagian hal ini bisa dilacak dari adanya pandangan esensialis yang menganggap korupsi sebagai tindakan maskulin. Di sisi lain, pemberitaan-pemberitaan media yang bertumpu pada tubuh dan gaya hidup koruptor perempuan, membuat substansi korupsi itu sendiri menjadi kabur.
Dalam konteks ini, penting untuk melakukan ‘analisis bingkai media’ (framing analysis) terhadap pemberitaan koruptor perempuan ini untuk menelusuri lebih luas dan mendalam bagaimana citra seorang koruptor perempuan ditampilkan dan apa bedanya secara umum dengan koruptor laki-laki. Yang lebih penting lagi, apa dampak dari pemberitaan yang cenderung bias gender ini.
Analisis ini pada dasarnya hanyalah metode teknis untuk menelusuri isi-isi berita tersebut. Metode ini lebih banyak bersifat  obyektif dan linear, karena itu agar sarana ini bisa fokus dan tajam, kerangka ini juga diperkaya dengan sebuah perspektif yang tepat untuk tujuan riset ini sendiri, yaitu perspektif gender. Tetapi “berbeda” dengan penelitian yang menggunakan perspektif gender lainnya yang cenderung ditujukan untuk pemberdayaan perempuan (women empowerement), riset ini dimaksudkan justru untuk melakukan penyadaran kepada media (enlightment) tentang pentingnya bersikap kritis dan tidak bias gender dalam meliput berita-berita perempuan.
II. Metode
Pertanyaan yang hendak dijawab oleh riset ini adalah bagaimana pemberitaan koruptor perempuan? Dan yang paling penting adalah apakah dampak dari pemberitaan ‘yang berbeda’ tersebut? 
Untuk menjawab pertanyan di atas, akan diteliti 3 (tiga) koruptor perempuan yang berada di ranah nasional, yaitu Malinda Dee dalam kasus penggelapan uang nasabah Citibank, Angelina Sondakh dalam kasus Wisma Atlet, dan Nunun Nurbaeti dalam cek pemilihan Gubernur Bank Indonesia. Ketiganya juga dipilih karena secara resmi sudah berstatus sebagai tersangka, meski kadang pemberitaan yang diambil bisa saja ditulis jauh sebelum ketiganya menjadi tersangka.
Sebagai bahan utama riset ini adalah salah satu jenis media, yaitu media online, dengan alasan media ini bersifat nirwaktu (timeless). Ia tak mengenal kadaluarsa,tetap bisa dibaca meski sudah ditayangkan beberapa bulan lalu ataupun hendak  ditengok beberapa bulan mendatang, selama situs berita yang memuatnya masih beroperasi.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bingkai media (framing analysis) dengan menggunakan perangkat framing milik William A.Gamson & Modigliani. Analisis framing digunakan untuk mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta di dalam berita, sehingga membuat berita lebih dimengerti dan diingat, untuk menggiring persepsi khalayak sesuai dengan perspektifnya.
Berita yang digunakan sebagai subyek penelitian dipilih dengan menggunakan search engine google.com dan kata kunci yang digunakan adalah “berita kasus korupsi (nama koruptor)”. Lima berita teratas dari portal berita adalah berita yang dipilih oleh peneliti, dan kemudian dianalisis.

II. Korupsi, Perempuan dan Media
Korupsi memiliki banyak pengertian.  Sosiolog korupsi Syeh Hussein Alatas (1986) menyebutkan benang merah yang mendasari aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, pengkhianatan, penipuan dan ketidakpedulian yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sedangkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 th.2001, Pasal 2, merumuskan korupsi sebagai:
1. perbuatan melawan hukum
2. dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain
3. ‘dapat’ merugikan keuangan atau perekonomian negara
‘Secara melawan hukum’ artinya suatu perbuatan dapat dipidana, jika:
1. ada aturannya dalam Undang-undang (hukum formil), atau
2. tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan masyarakat (hukum materiil).
Kata ‘dapat’ merugikan keuangan atau perekonomian negara artinya: tindak pidana korupsi dianggap ada tidak hanya ketika kerugian negara telah terjadi, tapi juga ketika unsur-unsur perbuatan korupsi telah terpenuhi.
Ketiga definisi korupsi di atas, menurut penulis, telah sangat mewakili. Pada intinya, korupsi merupakan ‘penyalahgunaan kekuasaan public demi kepentingan pribadi.’ Di Indonesia, kata korupsi sering dipasangkan dengan kata ‘kolusi dan nepotisme’. Pada dasarnya, kedua kata ini adalah bagian dari bentuk korupsi.
Di Indonesia, korupsi memiliki akar yang dalam dan praktik yang luas. Praktik korupsi telah masuk ke berbagai tingkatan di pemerintahan, melibatkan berbagai kalangan, dan membentuk jaringan yang luas.  
Dari segi jenis kelamin, bagaimanapun juga kenyataan menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang terlibat korupsi di Indonesia jauh lebih sedikit dari pada laki-laki. Dalam sebuah esainya, Neta S. Pane menyebutkan bahwa pada tahun 2008, dari 22 koruptor hanya dua perempuan yang terlibat.[2] Meski dalam tiga tahun terakhir, jumlah koruptor perempuan bertambah, tetapi diyakini tetap tidak lebih besar dari jumlah koruptor laki-laki.
Apakah jumlah yang sedikit itu karena alasan esensialis atau praktis, yakni memang terbatasnya perempuan yang duduk di lembaga-lembaga publik, hal ini tidaklah penting. Yang penting adalah di dalam pemberitaan media , koruptor perempuan terasa lebih banyak dan besar jumlahnya dibanding laki-laki, karena lebih gencar dan massifnya pemberitaan tersebut. Selain itu, berbeda dengan laki-laki, pemberitaan mengenai koruptor perempuan dibumbui dengan beragam pernik di luar masalah korupsi itu sendiri.
Dalam memberitakan koruptor perempuan, ada kesan fungsi media sebagai pembawa informasi dan sekaligus pengawasan menjadi tidak berlaku. Yang disampaikan adalah gosip dan pernik kehidupan para koruptor perempuan itu, dan bukan masalah korupsinya itu sendiri.[3]
Salah satu fenomena dalam kasus pemberantasan korupsi di Indonesia pada akhir tahun 2011 dan awal 2012 adalah disangkanya dan bahkan ditangkapnya beberapa perempuan sebagai pelaku korupsi. Beberapa perempuan itu adalah Malinda Dee, Angelina Sondakh, Nunung Nurbaiti, dan beberapa nama lain, terutama di daerah-daerah.
Berita ini mengundang perhatian besar dan membuat banyak kalangan masyarakat, laki-laki maupun perempuan, menjadi kaget karena memandang korupsi sebagai tindakan maskulin. Kalangan pemikiran feminisme ekologis misalnya menganggap bahwa laki-laki lebih korup daripada perempuan. Alasannya, perempuan memiliki sifat merawat dan memelihara. Sifat ini, yang tercermin terutama dalam fungsi reproduksi perempuan, dianggap tidak sesuai dengan korupsi. Sebaliknya laki-laki, dipandang memiliki sifat untuk menguasai, mendominasi, agresif, dan  sifat-sifat lainnya yang cenderung mendukung tindak korupsi.
Pandangan ini didukung beberapa survey. Menurut Dollar et. al. (2011), ada sejumlah penelitian survey dan eksperimen yang mengatakan bahwa perempuan cenderung tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki standar etika yang lebih tinggi daripada laki-laki. Berdasarkan pandangan ini, maka menempatkan perempuan ke dalam lembaga-lembaga publik akan bisa mengurangi korupsi. Pandangan ini memperoleh bukti di mana negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dalam politik ternyata tingkat korupsinya rendah. Sebaliknya Negara-negara dengan keterwakilan perempuan rendah tingkat korupsinya tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa perusahaan yang dimiliki laki-laki cenderung lebih suka menyuap dibandingkan dengan perusahaan yang dimiliki dan dikelola perempuan. Hal yang sama, Negara yang memiliki banyak politisi dan manajer perempuan cenderung lebih rendha korupsinya.[4]   
Tentu saja pandangan esensialis yang memandang laki-laki lebih korup dari perempuan ini mendapatkan banyak kritik. Diakui memang banyak laki-laki yang terlibat korupsi daripada perempuan, tetapi terjadi karena memang juga laki-laki yang lebih banyak duduk di lembaga-lembaga public disbanding perempuan. Jika perempuan lebih banyak, atau setidaknya, seimbang tidak ada yang bisa menjamin perempuan lebih sedikit terlibat korupsi daripada laki-laki.
Korupsi memang tidak mengenal jenis kelamin. Ia bisa dilakukan laki-laki dan perempuan. Dalam rumusan ahli korupsi Robert Klitgaard (2002), korupsi terjadi ketika ada monopoli plus kewenangan tapi minus akuntabilitas (C= M + D – A). Dengan demikian, siapapun yang memiliki monopoli plus kewenangan tapi tidak memiliki akuntabilitas, potensial untuk melakukan tindak korupsi, apakah itu perempuan atau pun laki-laki.

III. Analisis dan Penyajian Data
III.a. Malinda Dee
Dalam kasus Malinda Dee, media membingkai peristiwa ini secara seragam bahwa Malinda sebagai otak dan pelaku tunggal korupsi. Adapun Berita dan media yang dimaksud adalah:
Frame : Malinda sebagai otak dan pelaku tunggal korupsi Citibank
No
Judul
Media
Tanggal
1
Si Cantik Pembobol Bank: Malinda Bandingkan Tuntutannya Dengan Kasus Korupsi
Kompas.com
23 Feb 2012
2
Malinda Heran Dituntut Lebih Tinggi Dari Koruptor
Liputan6.com
23 Feb 2012
3
Koruptor Dituntut Lebih Ringan, Malinda Dee Protes
Tempo.com
23 Feb 2012
4
Pleidoi Malinda Singgung Korupsi di Kementrian ESDM
Merdeka.com
23 Feb 2012
5
Malinda Dee Akan Ajukan Kasasi
Metrotvnews.com
19 Juni 2012

Meskipun dari judul yang dibuat oleh masing-masing media membahas mengenai proses sidang Malinda, akan tetapi berita-berita tersebut memberikan sedikit latar persoalan yang menjerat perempuan ini.
Dari uraian berita dan hubungan kausalitas korupsi dana nasabah, tampak media membingkai penyebab Melinda korupsi karena gaya hidup high class yang dijalani, kemudian dia punya suami artis yang jarak usianya dengan Malinda lebih 24 tahun lebih muda . Berikut adalah contoh kutipan-kutipan depiction/labelling yang diberikan oleh media dan berita yang ditemukan:
-          Istri siri Andhika Gumilang (23), pada paragraf sebelumnya disebutkan Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49)
-          mantan Relationship Manager Citigold
-          mantan Relationship Maneger Citibank
Perihal uraian bagaimana Malinda melakukan korupsi kelima media diatas memiliki pendapat yang sama, bahwa Malinda menggelapkan dana nasabah-nasabah kakapnya.
mantan RM Citibank ini bertanggung jawab atas transfer tanpa izin nasabah sebanyak 117 kali transaksi. Transfer-transfer yang terdiri dari 64 transaksi tersebut dalam nominal rupiah bernilai total Rp 27.369.056.650, dan 53 transaksi dalam nominal dollar AS bernilai total 2.082.427 dollar AS (Si Cantik Pembobol Bank: Malinda Bandingkan Tuntutannya Dengan Kasus Korupsi).

Sementara untuk siapakah nasabah kakap yang dimaksud oleh cari tidak terungkap, dan tidak ada sedikitpun pemberitaan yang menyinggung hal tersebut.

Dari tambilan gambar (visual images), gambar yang ditambilkan hampir sefragam, yaitu Malinda dengan baju-baju mewah bahkan ketika menghadiri persidangan. Tampak bahwa media melihat Malinda sebagai sosok sosialita yang sangat memperhatikan penampilan kapanpun dan dimanapun. Diperkuat dengan judul “Si Cantik Pembobol Bank” dan kalimat di dalam berita, “tutur Malinda yang tampil mengenakan kemeja putih”.

III.b. Nunun Nurbaeti
Frame : Nunun, istri mantan Wakapolri yang melakukan korupsi
No
Judul
Media
Tanggal
1
KPK Periksa Nunun Untuk Miranda
Kompas.com
27 April 2012
2
Nunun Nurbaeti Tidak Banding
Tribunnews.com
14 Mei 2012
3
Berkerudung Puthih, Nunun Bacakan Pleidoi Kasus Cek Pelawat
Republika.com
30 April 2012
4
Kasus Cek Pelawat: Nunun Nurbaeti Ingin Seperti Nabi Yusuf
Bisnis.com
2 Maret 2012
5
Hari ini vonis Nunun Dibacakan
Tempo.com
9 Mei 2012

Frame yang digunakan oleh media massa dalam meliput kasus Nunun Nurbaeti hanya sebatas Nunun istri mantan Wakapolri yang melakukan korupsi. Sosok Nunun sebagai istri, ibu rumah tangga lebih dikedepankan. Hal ini tampak dari judul-judul yang digunakan yang menggunakan kata-kata pasif (tidak banding, dibacakan), kerudung putih, dan keinginan “sederhana” ingin menjadi seperti Nabi Yusuf.
Lagi-lagi pertanyaan tentang “why” atau mengapa Nunun melakukan korupsi tidak terungkap dalam berita. Motif Nunun baik politis maupun motif-motif lain tidak terungkap.dalam isi berita. Satu-satunya informasi yang disebut dengan jelas dalam semua pemberitaan adalah Nunun, disebut sebagai istri dari mantan Wakapolri
Selanjutnya, bagaimana Nunun Melakukan: terdapat kerancuan. Info yang didapat adalah Nunun membagikan cek perjalanan kepada anggota DPR yang memenangkan Miranda dalam pemilihan Gubernur BI. Tetapi, terjadi kerancuan pemberitaan sebab dalam beberapa berita yang disebutkan malah Miranda membantu Nunun.

III.c. Angelina Sondakh
Frame : Mantan Putri Indonesia Terlibat Tindak Pidana Korupsi
No
Judul
Media
Tanggal
1
Kronologis kasus korupsi Angelina Sondakh
Kapanlagi.com
29 Juni 2012
2
Angelina Sondakh Tersangkut Kasus Korupsi Dua Kementrian
Tvonenews.tv
25 April 2012
3
Angelina Sondakh Dicecar Pertanyaan Kasus Dugaan Korupsi 600 miliar
Sindikasi.net
4 Mei 2012
4
KPK Periksa Kasus Korupsi Angelina Sondakh
Tempo.com
15 April 2012
5
Fotografer Tribun Jadi Saksi Kasus Angelina Sondakh
Tribunnews.com
5 Juni 2012

Angelina Sondakh, kader Partai Demokrat yang menjabat sebagai anggota Komisi III DPR sebenarnya memiliki peran yang signifikan dalam mengatur proses alokasi dana yang kemudian dikorupsi. Namun, ketika meliput persoalan trersebut peneliti melihat bahwa media membangun bingkai dari ”Mantan Putri Indonesia yang melakukan tipikor”. Tentu hal ini menjadi problem dan reduksi terjadi dengan tidak mengungkap lebih jauh peran politik Angelina Sondakh.
Mengapa Angie terlibat kasus korupsi, media tidak menyinggung motif Angie sama sekali, semestinya dikaitkan dengan posisi Angie di demokrat dan karier politiknya. Posisi Angie cukup vital dalam korupsi wisma Atlet, sebab Angie-lah kader demokrat yang ada di komisi III yang menyetujui peruntukan anggaran. Tentu, peran Angie dalam meyakinkan rekan2 komisi dan meloloskan pembangunan wisma atlet menjadi hal yang krusial, namun ini tidak nampak dalam pemberitaan.

III.d. Pemberitaan Kasus Korupsi dengan Pelaku Laki-laki
Analisis berita untuk dua koruptor laki-laki yang diangkat sebagai pembanding dalam penelitian ini menunjukkan bahwa media massa dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan detail kepada khalayak. Hal ini ditunjukkan dengan:
1.      Kasus Nazaruddin, kompas.com bahkan memberikan bagan ilustrasi proses korupsi tersebut dilakukan oleh Naz dan muara aliran dana tersebut
2.      Kasus Gayus pun lebih variatif dalam pemberitaan, setidaknya pertanyaan 5 W 1H lebih terjawab
3.      Siapakah Gayus dan Nazaruddin, wewenang yang mereka miliki, jabatan politis yang dipunyai terungkap dengan jelas dalam bingkai media. Dalam hal ini sangat berbeda dengan koruptor perempuan.

IV. Penutup dan Kesimpulan
Dari hasil analisis media yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapak kesimpulan, yaitu:
1.                   Hampir seluruh portal berita online menampilkan koruptor perempuan dalam konteks keperempuananya. Malinda, sosialita yang korupsi karena memenuhi gaya hidup. Nunun, istri Wakapolri yang hingga saat ini tidak terungkap motif korupsi dan kepentingan politik...sehingga, seolah Nunun menjadi korban dalam konspirasi politik yang lebih “serius” yang tidak mungkin dipahami oleh seorang ibu rumah tangga biasa sepertinya. Angie, adalah putri Indonesia yang memiliki hubungan cinta yang rumit dengan beberapa pria yang kemudian terlibat kasus korupsi.
2.                   Korupsi adalah tindakan maskulin. Sehingga, jika koruptor laki-laki maka identitas politik pelaku terungkap dengan jelas..sementara jika perempuan yang korupsi, maka identitas politik mereka tersamarkan (tumpang tindih) dengan fashion, gaya hidup, dan tubuh.  lain yang ia miliki (sosialita, istri, putri/seleb)
3.                   Portal berita online gagal melakukan fungsi investigatif. Ini tampak pada ketidaklengkapan informasi (5W1H) dalam berita-berita koruptor perempuan. Peneliti memperkuat kesimpualan ini dengan melakukan coding terhadap dua portal berita online terbesar, vivanews.com dan detiknews.com secara menyeluruh. Informasi mengenai mengapa dan bagaimana tidak terjawab. Dalam kelengkapan berita, unsur yang terlengkapi hanya apa, siapa, dimana, dan kapan (What, Who, Where, When), sementara mengapa dan bagaimana (Why & How) tidak banyak digali lebih mendalam oleh media-media dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka
Danang Widoyoko, Gender dan Korupsi: Mencari Titik Temu antara Gerakan Anti-Korupsi dan Gerakan Perempuan, Jurnal Perempuan, Februari 2012
Mariana Amiruddin, Dari Payudara Melinda Dee, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Hingga Tas “Hermes” dan Kerudung ‘Louis Vuitton’ Nunun, Jurnal Perempuan, Februari 2012
Masduki & Bambang Muryanto, Jurnalisme Anti-Korupsi: Panduan untuk Jurnalis, AJI, Yogyakarta (t.t.)
Neta S. Pane, Perempuan dan Korupsi, Kompas, 29 Juli 2011.
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1986
Eriyanto, Analisis Framing, LKiS, Yogyakarta, 2002


[1] Lihat misalnya Masduki & Bambang Muryanto, Jurnalisme Anti-Korupsi: Panduan untuk Jurnalis, AJI (t.t.), sebuah panduan untuk jurnalis mengungkap kasus korupsi di mana melakukan laporan investigasi menjadi kemampuan wajib dan utama.
[2] Neta S. Pane, “Perempuan dan Korupsi,” Kompas, 29 Juli 2011.
[3] Lihat Mariana Amiruddin, “Dari Payudara Melinda Dee, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Hingga Tas “Hermes” dan Kerudung ‘Louis Vuitton’ Nunun,” Jurnal Perempuan, Februari 2012.
[4] Bagian-bagian ini diambil dari Danang Widoyoko, “Gender dan Korupsi: Mencari Titik Temu antara Gerakan Anti-Korupsi dan Gerakan Perempuan,” Jurnal Perempuan, Februari 2012.

-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar