
Putri Aisyiyah Rachma Dewi
STIKOSA, Surabaya
Abstrak
Pada
11 Oktober 2011 terjadi pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus yang berada di
tengah-tengah masyarakat Tengger. Hampir seluruh pemberitaan melihat bahwa
satu-satunya persoalan yang hadir dalam peristiwa ini adalah “pembakaran tempat
agama”, dan ini adalah masuk pada ranah penyerangan terhadap agama dan kelompok
tertentu. Tentu saja pembakaran mushala itu adalah suatu tindak penodaan dan
sekaligus kriminal yang tidak bisa ditolerir. Kendati demikian, penulis melihat
bahwa pemberitaan media massa mengenai peristiwa tersebut sangat bersifat
permukaan dan terhenti pada peristiwa itu sendiri.
Tanpa
bermaksud membenarkan aksi pembakaran itu, tampak di sana ada problem yang
lebih mendalam berkaitan dengan eksistensi masyarakat Tengger sebagai
masyarakat adat (indigenous peoples). Sebagaimana umumnya masyarakat adat,
orang-orang Tengger juga merupakan minoritas baik dari segi jumlah nominal
penduduknya maupun dari segi kebudayaannya. Kehidupan mereka pada dasarnya
selalu di bawah ancaman kalangan mayoritas: mayoritas budaya, ekonomi, politik
maupun agama.
Studi
ini ingin menelusuri bagaimana citra masyarakat Tengger ditampilkan ke dunia
luar. Pembacaan terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den
Bagus ini menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana
perspektif modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang
masyarakat Tengger. Pembacaan
pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan bagaimana praktik-praktik
pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas (budaya maupun agama) telah
mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan tidak mungkin, di masa depan
akan menghancurkan.
I. Pendahuluan
Pada 11
Oktober 2011 terjadi pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus yang berada di
tengah-tengah masyarakat Tengger. Peristiwa tersebut menjadi perhatian media massa , baik media
konvensional maupun online. Hampir seluruh pemberitaan melihat bahwa
satu-satunya persoalan yang hadir dalam peristiwa ini adalah “pembakaran tempat
agama”, dan ini adalah masuk pada ranah penyerangan terhadap agama dan kelompok
tertentu. Wacana yang berkembang adalah penodaan terhadap nilai-nilai kebebasan
beragama dan multikulturalisme.
Tentu saja
pembakaran mushala itu adalah suatu tindak penodaan dan sekaligus kriminal yang
tidak bisa ditolerir. Para pelakunya
bagaimanapun harus ditangkap dan diadili. Kendati demikian, penulis melihat
bahwa pemberitaan media massa
mengenai peristiwa tersebut sangat bersifat permukaan dan terhenti pada
peristiwa itu sendiri. Dalam pemberitaan tersebut, orang-orang Tengger
digambarkan sebagai masyarakat terbelakang, perusak hutan, dan penganut
animisme. Kehadiran padepokan Den Bagus dianggap sebagai “Dewa Penolong” yang
membawa Tengger ke kehidupan yang lebih baik.
Tanpa
bermaksud membenarkan aksi pembakaran itu, tampak di sana ada problem yang lebih mendalam
berkaitan dengan eksistensi masyarakat Tengger sebagai masyarakat adat (indigenous peoples). Sebagaimana umumnya
masyarakat adat, orang-orang Tengger juga merupakan minoritas baik dari segi
jumlah nominal penduduknya maupun dari segi kebudayaannya. Mereka juga tidak
memiliki akses kekuasaan maupun informasi yang baik. Karena itu mereka tidak
kuasa untuk membela diri maupun untuk merepresentasikan diri mereka sendiri ke
dunia luar. Kehidupan mereka pada dasarnya selalu di bawah ancaman kalangan
mayoritas: mayoritas budaya, ekonomi, politik maupun agama.
Stereotip
media terhadap orang-orang Tengger sebagai terbelakang, perusak hutan, dan
penganut animisme, yang menyertai pemberitaan kasus pembakaran mushala itu,
benar-benar berangkat dari perspektif ‘pembangunan’. Perspektif ini ingin
membawa masyarakat kepada suatu pola kemajuan dan kebudayaan tunggal yang
dikonstruksi dan berdasar selera mayoritas. Perspektif ini jelas berlawanan
dengan gagasan multikulturalisme yang menghormati dan membela hak-hak
komunitarian, termasuk dan terutama, hak masyarakat adat untuk hidup sesuai
dengan kebudayaannya.
Studi ini ingin menelusuri
bagaimana citra masyarakat Tengger ditampilkan ke dunia luar. Pembacaan
terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den Bagus ini
menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana perspektif
modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang masyarakat
Tengger. Pembacaan pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan
bagaimana praktik-praktik pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas
(budaya maupun agama) telah mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan
tidak mungkin, di masa depan akan menghancurkan.
II. Metode
Kajian ini
akan menggunakan metode analisis tekstual. Analisis ini digunakan karena
memungkinkan peneliti untuk melakukan pengamatan yang lebih mendalam dari teks
dan mendapatkan intepretasi komprehensif mengenai bagaimana media memahami dan
mengolah informasi berkait dengan Tengger sebagai sebuah indogenous
community dan menyampaikan kepada khalayaknya.
Dalam hal ini
yang secara khusus dimaksud dengan teks adalah berita dalam Tempo.com, portal
berita online yang dimiliki oleh Grup
Tempo. Penulis mengambil berita dari portal Tempo ini, sebab berita yang
ditulis oleh situs ini menjadi rujukan sebagian besar portal-portal berita
lain.
III.1 Masyarakat Tengger
sebagai Indigenous Peoples
Istilah “indigenous”
memiliki banyak pengertian. Sebagian akademisi memiliki istilah lain seperti
‘first nation populations’ (penduduk bangsa awal) dan atau ‘founding
populations’ (penduduk perintis). Ketiga istilah di atas menunjuk pada adanya
penduduk yang asli, mendiami suatu kawasan pertama kali, dan menjadi perintis
dari berkembangnya kawasan tersebut. Tetapi istilah ini belum menunjukkan apa-apa
dan pentingnya perhatian dan kebijakan secara politik kepada mereka yang
disebut sebagai indigenous peoples tersebut, kecuali bahwa mereka memiliki
peran secara historis. Selain itu istilah ‘asli’, ‘pribumi’, ‘pertama’, dan
atau ‘pendiri’ juga sering dipersoalkan karena sifat esensialisnya dan mengabaikan
begitu saja penduduk pendatang yang telah berpuluh-puluh atau bahkan
beratus-ratus tahun datang, bahkan sebelum negara-bangsa yang menaungi mereka
kini berdiri.[1]
Istilah ini
menjadi penting ketika dihubungkan dengan status mereka yang minoritas dari
segi jumlah, kekuasaan politik, agama, dan budaya, dan karena itu rentan
diskriminasi. Mantan Special Reporter PBB untuk Sub-Komisi Pencegahan
Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Jose Martines Cobo, memberikan batasan
indigenous peoples sebagai berikut:
“Indigenous communities, peoples and nations are those
which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial
societies that developed on their territories, consider themselves distinct
from other sectors of the societies now prevailing on those territories, or
parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are
determined to preserve, develop and transmit to future generations their
ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued
existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social
institutions and legal system.”[2]
Meski tidak
ada sebutan ‘minoritas’ di atas, jelas sekali dari definisi itu karakter dari
indigenous peoples yakni sebagai suatu kelompok yang non-dominan dan berbeda
dari masyarakat umumnya yang berdiam di suatu wilayah, dan berjuang untuk
mempertahankan wilayah dan identitas budaya kepada generasi penerus mereka.
‘Indigenous peoples’menjadi isu penting
berkaitan dengan modernisasi dan pembangunan. Kritik diarahkan karena banyak
pembangunan yang mengabaikan hak-hak dan
keberadaan IP (indigenous peoples) ini. Akhirnya lembaga dana seperti World
Bank, IFC, dan ADB mengeluarkan kebijakan yang mensyaratkan pembangunan apapun
untuk memperhatikan hak-hak IP menyangkut: 1). Pengakuan kebudayaan dan hak-hak
tradisional mereka. Setiap proyek harus memahami pentingnya budaya lokal dan
hak-hak tradisional di mana proyek itu berada, 2). Mengakui situs-situs budaya
yang mereka miliki, dan 3) memberikan kompensasi. Untuk kepentingan di atas,
ketiga lembaga dana itu juga menerapkan definisi dan batasan mengenai IP.
Tabel
I: Batasan IP menurut World Bank, IFC, dan ADB
IFC
|
ADB
|
World Bank
|
Self-identification as member of a
distinct indigenous cultural group and recognize this identity by others;
|
Descent from population groups present in a given area, most
often before modern states or territories were created and before modern
borders were defined
|
Self-identification as members of a distinct indigenous
cultural group and recognition of this identity by others;
|
Collective attachment to geographically distinct habitats or
ancestral territories in the project area and to the natural resources in
these habitats or territories;
|
Maintenance of cultural and social identities and social,
economic, cultural, and political institutions separate from mainstream or
dominate societies and cultures.
|
Collective attachment to geographically distinct habitats or
ancestral territories in the project area and to the natural resources in
these habitats and territories
|
Customary culture economic, social and
political institutions that are separated from those of the dominant society
or culture.
|
Additional
characteristics often ascribed to indigenous peoples include:
|
Customary cultural, economic, social, or political
institutions that are separate from those of the dominant society and
culture; and
|
An
indigenous language often different than the official language of the country
or region
|
Self-
identification and identification by others as being part of a distinct
indigenous cultural group, and the display of desire to preserve that
cultural identity
|
An
indigenous language, of-ten different from the official language of the
county-try or region.
|
A
linguistic identity different from that of the dominant society,
|
||
Social,
cultural, economic, and political traditions and institutions distinct from
the dominant culture,
|
||
Economic
systems oriented more toward traditional systems of production than
mainstream systems,
|
||
Unique
ties and attachments to traditional habitats and ancestral territories and
natural resources in these habitats and territories
|
Di Indonesia,
kalangan aktivis dan akademisi menerjemahkan IP dengan beragam cara. Ada yang menyebutnya
‘masyarakat pribumi asli’ dan ada yang mengistilahkannya ‘masyarakat terasing.’
Pemerintah sendiri melalui Departemen Sosial memiliki batasan sendiri mengenai
IP ini, dengan menyebutnya sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT
didefinisikan sebagai “...kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan
terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik
sosial, ekonomi maupun politik”[3]Kriteria
KAT sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 111 1999 di atas mencakup 7 (tujuh)
unsur dari 7 (tujuh) criteria: yakni:
Tabel I: Pengertian
Komunitas Adat Terpencil (KAT)
No |
Unsur |
Uraian |
1. |
Jumlah komunitas |
kecil, terjangkau oleh hubungan
antar personal |
2. |
Keragaman suku |
homogen, menurut garis keturunan
sesuku |
3. |
Sikap thd perubahan |
Relatif tertutup |
4. |
Letak geografi |
Umumnya terpencil dan relatif
sulit terjangkau |
5. |
Teknologi |
Sederhana, tp fungsional bahan
dan manfaat sesuai dgn kebutuhan setempat |
6. |
Kehidupan sosial |
Bertumpu pada sistem kekerabatan |
7. |
Ketergantungan pd sumber daya
hidup dan alam |
Relatif tinggi |
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebuah
konsorsium yang menghimpun kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia,
memiliki konsep 'Indigenous Peoples' yang mereka terjemahkan dalam Bahasa
Indonesia sebagai masyarakat adat dengan pengertian sebagai
“... a group of people who
based on ancestral origin, live in a specific geographical area, have a
distinct value and socio-cultural system, sovereignty over their land and
natural resources and control and take care of their survival by means of
customary laws and institutions.
Indigenous
peoples, menurut mereka, bisa diidentifikasi dengan criteria berikut ini:
·
A group of people sharing the same cultural identities Indigenous
peoples have distinct characteristics in terms of language, spiritual values,
norms, attitudes and behaviors that distinguish one social group from another
·
Living area Includes land, forests, sea and other resources, which
cover not only goods but also religious and sociocultural system
·
Knowledge systems Also called “traditional wisdom” or “ local
wisdom”, which is not only preserved but enriched/developed in line with the
needs of indigenous peoples to sustain their existence
·
A common regulation and governance system Includes customary laws
and institutions to regulate and govern themselves.[4]
Berbeda dengan
'Komunitas Adat Terpencil' menurut Departemen Sosial, AMAN menekankan advokasi
dan pemberdayaan pada mereka yang disebut sebagai 'masyarakat adat' tersebut,
dengan menekankan hak asasi dan hak sosial budaya mereka. Dalam hal ini, kadang
mereka berbeda dengan Departemen Sosial yang cenderung memandang masyarakat
adat sebagai 'terbelakang' secara budaya atau dengan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata yang mendudukkan masyarakat adat sebagai entitas yang unik dan eksotik
untuk kepentingan pariwisata.
.
Definisi AMAN mengenai 'indigenous peoples' yang dalam
bahasa Indonesia mereka sebut 'masyarakat adat', menurut pandangan kami, lebih
dekat dengan definisi yang dipakai di kalangan internasional, termasuk dengan
World Bank, ADAB atau pun IFC.
Kendati demikian, definisi
apapun yang akan kita pergunakan, masyarakat Tengger dengan segala
karakteristiknya bisa disebut sebagai IP. Predikat IP pantas disandang
komunitas ini karena mereka memiliki semua prasyarat sebagai IP. Pertama, dari
segi kawasan tempat mereka tinggal yang relatif terpencil, jauh dari perkotaan
dan tetap setia dengan lingkungan pegunungan, yang telah menjadi wilayah
turun-temurun mereka. Kedua, dari segi jumlah penduduk, jumlah nominal mereka
terhitung sangat kecil sekali dibanding misalnya masyarakat Suku Jawa yang
berdiam mengelilingi mereka. Ketiga, dari segi kebudayaan dan agama, mereka
sama sekali bukan bagian dari mayoritas. Keempat, mereka tak memiliki akses
kekuasaan yang besar dan kuat, dan kelima, mereka masih setia dengan pola
ekonomi tradisional.
Sebagai
masyarakat suku yang kecil dan terpencil, kehidupan kebudayaan mereka juga
berada di bawah ancaman pengaruh kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang lebih
besar dan dominan, baik ancaman itu bersifat langsung maupun tidak langsung.
Langsung dalam arti penduduk yang berbeda kebudayaan mereka datang langsung ke
tengah kehidupan mereka dengan memperkenalkan kebiasaan-kebiasaaan baru, baik
yang berbasis agama maupun kebiasaan masyarakat luar lainnya.
III. 2. Pengagamaan dan
Pembangunan di Tengger
Penduduk Tengger dikenal sebagai penganut
kepercayaan Brahma, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya patung-patung
pemujaan terhadap Brahma. Penduduk ini terdesak ke pegunungan Bromo ketika
pengaruh Islam meluas pada abad ke-15. Orang-orang Hindu Brahma ini kemudian
menyebut diri mereka sebagai tiang
Tengger.
Pada abad ke-16, para pemuja Brahma di
Tengger ini kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi. Akhirnya orang-orang
yang semula beragama Brahma ini beralih ke agama orang Parsi, yaitu “Hindu
Parsi.” Ini tampak dari system kepercayaan mereka yang masih ada unsure
pemujaan terhadap matahari, bulan, dan bintang-bintang sebagai pengendali dari
keempat unsure utama, yaitu api, air, udara,
dan tanah.[5]
Kenyataan spiritual ini membuat identitas
keagamaan mereka dianggap ‘kabur’. Di satu sisi, ke-Hindu-an mereka memang berbeda
dalam beberapa hal dengan Hindu umumnya seperti di Bali, dan di sisi lain, ada
yang menganggap mereka masih menganut kepercayaan dinamisme dan animisme. Dalam
konteks ‘politik keagamaan’ Orde Baru, ‘ketidakjelasan’ identitas itu membuat
mereka dianggap ‘tidak memiliki agama’ dan karena itu boleh untuk ‘diagamakan.’
Penting dicatat bahwa kala itu, dan hingga sekarang pun masih tersisa, agama
yang diakui hanya 5: Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam.
Demikianlah,
dalam suatu periode yang panjang, orang-orang Tengger menjadi sasaran
pengagamaan. Sekadar menyebut contoh. Pada awal 1970-an, mereka yang sebelumnya
merasa lebih dekat ke agama Hindu, ‘dipaksa’ untuk berubah agama dan harus
memilih satu dari lima
agama yang resmi. Melalui Parisada Jawa Timur, orang Tengger kemudian
dikategorikan sebagai pemeluk agama Budha Mahayana, dengan Surat Keputusan No.
00/PHB Jatim/Kept/III/1973, tanggal 6 Maret 1973. Padahal, seperti ditunjukkan
dalam hasil penelitian Ayu Sutarto, dilihat dari pribadatannya, orang Tengger
tidak menunjukkan sifat kebudhaan, kecuali kata hong yang digunakan sebagai pembuka dari setiap mantera.[6]Memang
ada mereka menyebut diri sebagai orang buda,
tetapi ini bukanlah Budha yang dikenal tersebut.
Tidak hanya
Budha, Islam pun turut merambah ke sini. Dalam sejumlah risetnya mengenai
masyarakat Tengger di akhir tahun 1980an dan awal 1990an, antropolog Robert W. Hefner,
menunjukkan berlangsungnya proses Islamisasi di kawasan ini. Yang menarik,
Islamisasi itu terjadi tidak langsung dari masyarakat Islam, tetapi melalui
program-program pendidikan pemerintah. Program wajib belajar 6 tahun
pemerintah, misalnya mengharuskan seluruh warga Negara untuk mengikuti dan
menamatkan pendidikan setidaknya sekolah dasar, tak terkecuali dalam hal ini
masyarakat Tengger. Dalam program sekolah ini kemudian muncul keharusan
untuk mengikuti pelajaran agama. Anak-anak masyarakat Tengger, yang tidak merasa
memiliki agama yang resmi, atau tidak memiliki guru agama, akhirnya banyak yang
memilih mengikuti pelajaran agama Islam. Melalui proses inilah secara tidak
sengaja berlangsung Islamisasi.[7]
Selain itu,
stigmatisasi sebagai masyarakat yang terpencil dan terbelakang, membuat
orang-orang dan wilayah Tengger ini menjadi sasaran program modernisasi.
Berbagai program untuk ‘mendidik’, ‘memajukan’, dan ‘memperadabkan’ masyarakat
Tengger dilakukan, mulai bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi,
kependudukan, dan lain-lain. Seperti ditunjukkan Hefner di atas, dan juga dalam
banyak kasus modernisasi dan pengagamaan di kalangan IP, agama dan pembangunan
itu berjalan seiring. Mengagamakan berarti membangun. Membangun berarti
mengagamakan.[8]
Sejarah di
balik peristiwa pembakaran mushala padepokan Den Bagus dengan demikian menarik
untuk diperhatikan. Berita itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa proses-proses
pengagamaan dan pembangunan (modernisasi) terus berlangsung. Berita itu secara
tidak langsung menunjukkan kini telah terdapat komunitas-komunitas Tengger yang
telah memeluk Islam. Kedua, dakwah Islam berlangsung secara aktif, langsung dan
sistematis di kalangan masyarakat Tengger, bukan lagi membonceng secara tidak
sengaja program pemerintah sebagaimana dilaporkan oleh Hefner di atas.
Pembacaan
terhadap pemberitaan yang luas akan peristiwa pembakaran mushala Den Bagus
menjadi menarik karena ia menunjukkan bagaimana dan sejauh apa dakwah Islam itu
telah berlangsung, serta yang lebih penting lagi bagaimana masyarakat Tengger
dikonstruksi sehingga kehadiran Islam menjadi benar dan tepat adanya melalui
konstruksi ‘keterbelakangan’ dan ‘ketidakberagamaan’ mereka dan pentingnya
pengagamaan sekaligus modernisasi. Atau modernisasi sekaligus pengagamaan.
IV. Representasi Masyarakat
Tengger Oleh Media
Apa yang dikatakan oleh Heffner tentang penmbangunan dan
pengagamaan, ternyata terrcermin secara jelas pada pemberitaan
media massa terhadap peristiwa pembakaran Musholla Padepokan Den Bagus. Seperti yang diungkap oleh McQuails dalam bukunya Mass Communication Theory (2004), media massa memiliki kemampuan
unutk menyaring sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan
sekaligus kendala yang menghalangi kebenaran.
Maka, makna
suatu peristiwa, dalam hal ini pembakaran musholla
milik Padepokan Den Bagus, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa , sebenarnya suatu
konstruksi makna yang temporer dan subyektif. Apa yang dituliskan menjadi
berita tentu bukanlah mewakili realitas yang sebenarnya. Proses selektivfitas
–mulai dari selektif terhadap peristiwa hingga selektivfitas
makna- yang dilakukan oleh jurnalis dan editor, disadari atau tidak berperan
dalam menghasilkan judul berita, pemilihan katagori, pemilihan labelling;
pemilihan narasumber dan kutipan narasumber, pemilihan foto, dan lain
sebagainya.
Banyak
informasi dalam sebuah wacana (berita) itu tidak nampak secara eksplisit, namun
implisit. Kata, katagorisasi, klausa, metafor-metafor, bisa jadi mengisyaratkan
konsep atau proposisi-proposisi yang dapat diduga berdasarkan frame of references dan field of experiences. Tentu apabila kita
berbicara tentang dua hal tersebut (references dan experiences) tak dapat kita lepaskan dari konteks budaya yang melingkupinya.
Dengan kata lain, media menjadi cerminan
dari cara pandang dan pola pikir masyarakat. Bagaimana media membentuk identitas masyarkat
Tengger, maka seperti itu pula lah masyarakat atau kelompok dominan
menilai masyarakat Tengger. Representasi media terhadap Tengger dipengaruhi
oleh masyarakat, tetapi pada saat yang bersamaan apa yang disajikan oleh media
juga menjadi references masyarakat
terhadap orang-orang Tengger.
Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap teks berita yang
berjudul “Aksi Pembakaran Permukiman Warga Tengger Terus Terjadi”, tampak bahwa
media memberikan gambaran masyarakat Tengger sebagai kelompok indigenous yang terbelakang, lemah
secara politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini tampak dalam paragraf-paragraf
berita sebagai berikut
Warga Tengger tersebut telah
turun-temurun menggantungkan hidup dengan cara berladang di hutan. Mereka hidup
berpindah-pindah.(Par. 7)
Tempo dan sejumlah wartawan dari
berbagai media yang meninjau tempat kejadian menjumpai warga yang tampak pasrah
menyaksikan pondoknya yang telah hangus dimakan api. ”Kami di sini hanya
mencari makan dengan menanam jagung, ketela pohon,” ujar Alas, salah seorang
warga dengan usia di atas 60 tahun itu. Gurat kesedihan sangat tampak dari raut
wajahnya yang sudah menua itu.(Par.
6)
Pada paragraf enam,
Tempo memilih untuk menampilkan Alas, seorang warga Tengger yang telah berumur
60 tahun. Metafora yang digunakan seolah mengajak pembaca untuk membayangkan
wajah renta Alas dan warga Tengger lainnya, kepasrahan mereka melihat amuk api
melalap rumah tinggal dan ladang pencaharian mereka.
Tidak ada persoalan ketika media merepresentasikan
Tengger sebagai masyarakat yang bertanam jagung dan ketela, sebab memang
demikian adanya. Namun, yang mejadi persoalan adalah ketika kebiasaan “makan
jagung” dan “menanam ketela” dianggap sebagai suatu hal yang identik dengan
kemiskinan. Media secara sengaja atau tidak sengaja telah terjebak pada standar kemiskinan yang ada di budaya
dominan.
Hal serupa tercermin dalam paragraph 7, di mana
masyarakat Tengger digambarkan “menggantungkan
hidup dengan cara berladang di hutan.” Di hutan
milik siapa? Apakah yang dimaksud hutan milik pemerintah? Tidak dijelaskan di situ. Tetapi yang jelas, hutan bukan
untuk berladang secara bebas, meski masyarakat
Tengger pada dasarnya pewaris sebenarnya dari hutan tersebut
karena mereka telah berdiam di situ turun-temurun. Sistem
kehidupan modern telah menyingkirkan mereka dari mengakses
tanah leluhur mereka secara bebas. Hal ini dikuatkan dengan
gambaran ‘hidup mereka yang berpindah-pindah.” Gambaran masyarakat yang tidak
beradab memancar dari deskripsi ini.
“Kemiskinan”
dan “ketakberdayaan” masyarakat Tengger itu pula lah yang kemudian
mengundang simpati banyak pihak dari kelompok masyarakat yang modern dan “lebih
maju”. Salah satu pahlawan yang hadir adalah Achmad Nur Huda atau Gus Mamak.
LSM yang ia dirikan dan diberi nama Padepokan Den Bagus,menjadi sebuah harapan
baru bagi masyarakat Tengger untuk memulai kehidupan yang “lebih beradab”.
Setelah cukup lama melakukan
pendekatan terhadap warga Tengger, sekitar dua tahun yang lalu, para aktivis
Padepokan Den Bagus bergabung bersama warga untuk memberikan pendampingan.
Mereka diajari cara bercocok tanam serta--ini yang penting--memberikan
pengetahuan kepada warga untuk tidak merusak hutan. Mereka pun diberikan
wawasan tentang budaya.(Par. 8)
Keberadaan warga Tengger di bawah
pembinaan Padepokan Den Bagus telah mendapat perhatian berbagai kalangan.
Mereka kerap dikunjungi sejumlah mahasiswa, di antaranya dari Sekolah Tinggi
Agama Islam Jawa Timur. Demikian juga Badan Amil Zakat Kabupaten Lumajang dan
Provinsi Jawa Timur untuk memberikan bantuan. (Par. 11)
Akhirnya ‘kita’ –para pembaca—sampai pada
penggambaran mengapa kelompok seperti Padepokan Den Bagus pantas dan layak untuk
hadir di tengah-tengah masyarakat Tengger ini. Karena kelompok ini mengajari mereka “…cara bercocok tanam serta… memberikan pengetahuan kepada warga untuk
tidak merusak hutan. Mereka pun diberikan wawasan tentang budaya.” Tiga hal langsung tampak di
sini. Masyarakat Tengger yang telah berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun
memiliki tradisi Budaya bercocok
tanam, seperti tidak dianggap sekali atau dipandang
menjalankan tradisi bercocok tanam yang keliru. Kedua, mereka
adalah para perusak hutan, karena itu harus diajar bagaimana tidak merusak hutan.
Benar mungkin mereka ada yang menebang pohon,
tetapi peralatan tradisional yang mereka miliki dan kebutuhan terbatas mereka,
tidak akan sampai pada akibat “merusak hutan”. Jauh berbeda dengan
perusahaan-perusahaan kayu, yang dengan teknologi penebangan yang canggih dan
kebutuhan memenuhi pasar kapitalisme, bisa membuat gundul sebuah bukit dalam
beberapa hari. Ketiga, mereka tidak memiliki budaya, karena itu
perlu diajarkan wawasan budaya. Sistem kepercayaan tradisional
mereka, yang mengajarkan kejujuran, kebenaran, penghormatan pada orang lain,
kesediaan berbagi dengan sesame, dan
lain-lain, seperti tidak dianggap ada di sini. dengan
berpindah-pindah dianggap sebagai kegiatan yang bersifar destruktif.
Representasi masyarakat Tengger sebagai kelompok perusak hutan
akibat ketidaktahuan mereka tentang tekhnologi bercocok tanam yang modern. Dan,
mereka yang telah menjadi pengikut kelompok Den Bagus adalah warga Tengger yang
“lebih baik” sebab mereka menjadi pengadopsi inovasi (early adopter).
Secara perlahan-lahan, dari sekitar
200 kepala keluarga (KK), sudah 25 KK (sekitar 125 jiwa) yang bersedia
bergabung dengan Padepokan Den Bagus. Mereka tidak lagi berladang secara
berpindah-pindah, melainkan bermukim di suatu tempat. (Par. 9)
Dalam pemberitaan, peneliti memaknai bahwa media
merepresentasikan Tengger sebagai penganut Islam semata, ini tampak dalam
kalimat yang tertulis dalam paragraf dua. Labelling
atau penyebutan “satu-satunya tempat ibadah” seolah menafikkan
adanya tempat ibadah lain di Tengger.
Perusakan dan pembakaran yang berlangsung sejak Sabtu,
8 Oktober 2011, telah melumatkan puluhan pondok warga serta sebuah musala.
Satu-satunya tempat ibadah berukuran sekitar 64 meter persegi yang terbuat dari
kayu dan bambu itu rata dengan tanah dan hanya tersisa puing-puing yang
berserakan. (Par. 2)
Balai pertemuan yang disebut
Padepokan Den Bagus itu didirikan dua tahun lalu oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat Padepokan Den Bagus pimpinan Achmad Nur Huda yang biasa disapa Gus
Mamak. “Aksi perusakan dan pembakaran itu sungguh biadab, tidak
berperikemanusiaan,” kata Gus Mamak kepada Tempo, Minggu siang, 16 Oktober
2011.(Par. 4)
Pada saat dilakukan pembakaran
musala, para pelaku tidak mempedulikan sejumlah kitab suci Al-Quran yang juga
ikut dilumat api. (Par. 5)
Indigenous atau kelompok adat merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya
dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan
untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan.
Dalam pemberitaan Tempo tanggal
16 Oktober 2011 lalu berjudul “Aksi Pembakaran Warga Tengger Terus Terjadi” tampak stereotip media
terhadap orang-orang Tengger sebagai terbelakang, perusak hutan, tidak berbudaya, dan lemah dari sisi ekonomi dan budaya benar-benar berangkat dari perspektif ‘pembangunan’.
Perspektif ini ingin membawa masyarakat kepada suatu pola kemajuan dan
kebudayaan tunggal yang dikonstruksi dan berdasar selera
mayoritas.
Perspektif ini jelas berlawanan
dengan gagasan multikulturalisme yang menghormati dan membela hak-hak
komunitarian, termasuk dan terutama, hak masyarakat adat untuk hidup sesuai
dengan kebudayaannya.
Pembacaan
terhadap pemberitaan peristiwa pembakaran mushala Padepokan Den Bagus ini
menjadi penting karena ia menunjukkan dengan baik bagaimana perspektif
modernitas mempengaruhi dan membentuk kalangan media dalam memandang masyarakat
Tengger. Pembacaan pemberitaan ini juga dengan baik bisa menunjukkan
bagaimana praktik-praktik pembangunan, kekuasaan, dan pembentukan identitas
(budaya maupun agama) telah mengancam eksistensi masyarakat Tengger, dan bukan
tidak mungkin, di masa depan akan menghancurkan.
Daftar Pustaka
Bill Ashroft,
Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, Post-Colonial
Studies: The Key Concepts, Routledge, 2000.
Hefner, Robert W, Hindu Javanese Tengger: Tengger Tradition and Islam, Princenton, Princenton University , 1985.
----------------------, Geger Tengger: Perkelahian Sosial dan
Perkelahian Politik, Yogyakarta , LKiS,
1999.
----------------------, “Mengislamkan
Jawa? Agama dan Politik di Pedesaan Jawa Timur,” dalam Robert W. Hefner, Islam,
Pasar, Keadilan, LKIS, 2000.
Sumartana, Th.
(ed.), Kisah dari Kampung Halaman: Agama,
Masyarakat Suku, dan Pembangunan, Yogyakarta ,
Dian/Interfidei, 1997.
Suyono,
Capt. R. P., Mistisisme Tengger,
LKiS, Yogyakarta , 2009.
Sutarto, Ayu, “Legenda Kasada dan
Karo Orang Tengger Lumajang”, disertasi,
(1997).
[1] Bill Ashroft, Gareth Griffiths, dan Helen
Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key
Concepts, Routledge, 2000.
[2] http://indigenouspeoples.nl/indigenous-peoples/definition-indigenous.
[3] Pasal 1 ayat (1) Keppres No. 111 Tahun
1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
[5]Lebih lengkap baca, Capt. R. P. Suyono, Mistisisme Tengger, LKiS, Yogyakarta , 2009.
[6] Ayu Sutarto, “Legenda Kasada dan Karo Orang
Tengger Lumajang”, disertasi, (1997).
[7] Lih. Robert W. Hefner, “Mengislamkan Jawa?
Agama dan Politik di Pedesaan Jawa Timur,” dalam Robert W. Hefner, Islam,
Pasar, Keadilan, LKIS, 2000. Lihat juga karya Hefner (1985; 1999) yang
lebih lengkap dan memperlihatkan dinamika historis masyarakat ini.
[8] Banyak sekali kajian mengenai hal ini.
Lihat misalnya Th. Sumartana (ed.), Kisah
dari Kampung Halaman: Agama, Masyarakat Suku, dan Pembangunan, Yogyakarta , Dian/Interfidei, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar